Judul :
Membaca, dan Membaca Lagi: [Re]interpretasi Fiksi Indonesia 1980 - 1995
Judul Asli :
Reading Matters : An Examination of Plurality of MEaning in Indonesian Fiction
1980 - 1995
Penulis :
Dr. Pamela Allen
Penerjemah :
Dr. Bakdi Soemanto
Kata Pengantar: Prof. Dr. Benny H. Hoed
Penerbit :
Indonesia Tera
Tahun :
2004
Tebal :
xxxii + 320 halaman
ISBN :
979-9375-60-6
Ketika
kita membaca buku atau teks atau naskah baik fiksi maupun nonfiksi, apa yang
mau kita cari ? Makna ! Boleh jadi, buku itu menghibur, membuat teka-teki,
mengajak refleksi, memberi petuah, membelokkan untuk menyesatkan secara halus
untuk sekedar mencari keuntungan, atau bahkan menebar teror kesadaran. Boleh
jadi buku itu merupakan rangkaian cerita yang lurus dan logis sampai cerita
absurd, berisi rumus-rumus dan penyelesaian soal, mode pakaian atau masakan,
berisi teknik akuntansi, komputer, berpidato atau bagaimana menjadi kaya
sesegera mungkin. Namun, hanya dengan mambaca sajalah, teks-teks itu memberikan
maknanya. Lantas kita memahaminya dan menggunakannya. Bisa jadi, kita
sebenarnya menangkap maknanya lantas kita menyembunyikan itu dan mengatakan hal
lainnya atau makna lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.
Permasalahannya, bagaimana membaca
dengan 'baik dan benar' ? Istilah 'baik dan benar' di sini dipakai dengan
kata-kata yang lazim digunakan seperti berbahasa yang 'baik dan benar'.
Bagaimana kita dapat memahami makna dengan tepat ? Jawabnnya mungkin sederhana.
Teks itu sendiri akan menampilkan maknanya secara eksplisit. Bisa jadi. Tapi,
banyak teks yang menyembunyikan maknanya dalam sesuatu yang 'tak kelihatan'
langsung, entah lewat strukturnya, permainan kata, tata bahasa, dan sebagainya.
Bagaimana memahami semua itu ?
Membaca sekali atau dua kali, kita
mungkin menangkap jalan ceritanya atau garis besarnya. Membaca sekali lagi dan
lagi, mungkin terasa makna lebih dalam. Mencari latar belakang penulis dan
latar belakang sosial, politik, atau budaya yang terjadi saat teks itu ditulis
dari buku-buku atau informasi-informasi lain, mungkin akan memperdalam lagi
makna itu. Mungkin orang lain akan menangkap makna yang berbeda dari teks yang
sama. Orang lainpun mungkin akan berbeda pula. Atau jangan-jangan kita salah
baca. Bagaimana dengan maksud pengarang ?
Buku karya Dr. Pamela Allen berjudul
Membaca, dan Membaca Lagi:
[Re]interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995 ini sangat membantu menjawab
masalah-masalah di atas. Buku yang berjudul
aslinya Reading Matters : An
Examination of Plurality of Meaning in Indonesian Fiction 1980 – 1995,
sangat jernih memaparkan hasil ‘membaca, membaca, dan membaca lagi’ penulisnya
atas karya-karya tiga sastrawan berpengaruh di Indonesia antara tahun 1980 –
1995. Sastrawan itu adalah Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, dan Putu
Wijaya.
Karya-karya yang dicermati dari
Pramoedya adalah Bumi Manusia (1980),
Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah
Kaca (1988). Pamela menyebutnya sebagai “Kuartet Buru”. Sementara karya
Y.B. Mangunwijaya adalah Burung-Burung
Manyar (1981), Durga Umayi
(1991), dan Burung-Burung Rantau
(1993). Sedangkan novel-novel Putu Wijaya antara lain Sobat (1981), Perang
(190), Teror (1991), Kroco (1995), dan Byarpet (1995).
Pendekatan yang dipakai sangat
menarik, yaitu pendekatan tanggapan-pembaca atau teori resepsi pembaca.
Pendekatan ini menekankan bahwa makna suatu karya sastra tertentu merupakan
hasil interaksi antar pembaca dengan teks. Lalu konsekuensinya makna menjadi
tidak tunggal. Ia plural.
Pendekatan itu sendiri diambil dari
tiga tokoh seperti Antony Easthope dalam bukunya berjudul Literary into Cultural Studies (1991), Catherine Belsey dalam
bukunya Critical Practice (1990), dan
Umberto Eco dengan bukunya The Limits of
Interpretation (1990).
Pendekatan yang dipakai Pamela
sebenarnya upaya sintesis dari dua kecenderungan, yakni di satu sisi makna itu
sudah tidak tergantung pada pengarang, tetapi sepenuhnya mutlak tergantung
pembaca begitu teks lepas dari pengarang dan dibaca pembaca. Pengarang itu
sudah mati. Salah satu pendekatan ini diwakili, misalnya oleh Roland Barthes.
Di pihak lain, kecenderungan lebih kearah konvensional yang menekankan unsur
obyektivitas yang diartikan makna itu sangat tergantung pada pengarang.
Bagaimanapun juga teks itu dihasilkan oleh pengarang sehingga teks tidak bisa
dilepaskan dari maksud pengarang. Maknanya lalu menjadi tunggal sebagai sesuatu
yang tidak bisa diubah. Pendekatan ini didukung oleh antara lain E.D. Hirsch
Jr.
Dengan pemaparan berbagai pendekatan
dan mengambil suatu sintesis, buku Pamella yang dikembangkan dari tesis
doktoralnya ini, merupakan pendekatan ilmiah. Ini juga bisa disebut sebagai
kritik sastra atau analisis sastra. Di sinilah kekuatan buku ini. Ia kritis
terhadap karya tiga sastrawan berpengaruh di Indonesia dari tahun 1980 hingga
1995. Ia bukan pembaca biasa, seperti dikatakan Prof. Dr. Beny H. Hoed, dalam
kata pengantarnya. “Ia (seorang kritikus sastra, pen.) harus menempatkan
dirinya lebih dari seorang awam yang membaca karya sastra. Ia harus memberikan
pencerahan kepada peminat sastra agar seluruh karya dapat dipahami makna secara
lebih komprehensif,” tegasnya.
Hasil
Dari
pendekatan di atas dan karena tidak bisanya Dr. Pamela Allen menyingkirkan
pengarang (karena kenal secara pribadi), maka dihasilkan suatu tipologi sastra
di Indonesia antara periode sebelumnya yang sudah dikenal baik. Misalnya pada
awal 1980-an perdebatan ‘sastra kontekstual’ menghidupkan kembali suatu
perdebatan yang sudah dikenal baik dan seakan berputar. Pramoedya Ananta Toer,
Y.B. Mangunwijaya, dan Putu Wijaya mewakili tiga corak sastra di Indonesia yang
ditandai antara kutub-kutub realis – antirealis, serta nasionalis –
neoregionalis.
Karya-karya Pramoedya bercorak
realis dan nasionalis. Sementara Mangunwijaya mencerminkan keindonesiaan yang
diramu dari beberapa eksperimentasi, fantasi, dan tradisi wayang. Sedangkan
karya-karya Putu Wijaya merupakan antitesa dari tulisan Pramoedya : fantastik dan
bersifat tidak langsung, dan meraciknya dengan tradisi Bali, Jawa, dan Jakarta
(hal. 251 – 252).
Membuka Tabir
Apa yang mengejutkan dari buku ini
adalah dari mana suatu ‘ide’ tulisan tiga sastrawan itu terilhami, apa
makna-makna simbolisme (misalnya plesetan, permainan kata, dan sebagainya), apa
maksud pengarang, dan latar belakang sosio-politik serta hal-hal tentang
kepengarangan, terungkap. Buku yang diterjemahkan dengan apik oleh Dr. Bakdi
Soemanto ini, bagaikan membuka tabir.
Misalkan saja, karya Burung-Burung Manyar dihubungkannya
dengan keluarga Jenderal (Purn.) Wiranto, isterinya Yuniarti, dan anak-anaknya.
Atau Durga Umayi yang diilhami dari Autumn of the Patriarch-nya Gabriel
Garcia Marquez.
Tidak mengherankan, jika karya
Pamela ini memang betul-betul ditulis dengan teliti dan rinci. Selain uraiannya
yang menyibakkan hal-hal yang ‘tersembunyi’ dari teks utama, studi yang tekun
dan cermat bisa terlihat juga dari daftar pustakanya.
Suatu Pertanyaan
Kecenderungan terhadap perhatian
yang lebih pada pengarang, biasanya dibayar dengan sedikit ‘melupakan’
lingkungan sekitarnya. Misalkan, ketika kita membaca Durga Umayi. Apalagi tokoh
utamanya Punyo Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida atau dipanggil dengan Iin. Ini
mengingatkan pada sosok sekretaris Bung Karno yang berasal dari Pulau Tello
seperti diceritakan Bung Karno sendiri kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Apalagi menyangkut permainan kata pada kisah akhir (hal. 19). Padahal, buku
biografi Soekarno ini tentu sudah banyak
dikenal banyak orang. Apa hubungan ini dengan Durga Umayi, tidak diketahui. Masalahnya berbeda jika maksud
pengarang secara eksplisit ditujukan untuk kritik terhadap sosok Bung Karno
misalnya atau lebih besar lagi terhadap proklamasi.
Kalau contoh di atas diteruskan,
maka pendekatannya kembali lagi ke soal makna itu tunggal atau plural,
ditentukan pengarang atau pembaca. Buku ini memang memberi masukan yang sangat
berarti, tetapi meninggalkan sejumlah pertanyan yang belum terjawab.
Pemahamn Diri
Pendekatan ilmiah dan permasalahan
makna ini justru menjadi titik kritis Pamela Allen. Apalagi seperti diakuinya
sebagai pembaca non-Indonesia, berusaha mendekati sastra Indonesia seperti
Pramoedya, Mangunwijaya, dan Putu Wijaya. Di sinilah masalah dua budaya yang
saling berinteraksi. Menarik…
Lalu, apa yang muncul dari pendekatan
seperti ini,adalah kemungkinan besar masalah bias berhadapan dengan
etnosentrisme. Prof. Beny H. Hoed sudah mengingatkan hal itu dalam kata
pengantarnya.
Bagaimana menghadapinya, Beny
langsung menusuk jantung masalahnya, yaitu: memahami diri, mengenali
diri sendiri dalam kaitan dengan teks. Inilah inti interpretasi, seperti
diketengahkan Paul Ricoeur.
Terjemahan buku ini sangat bagus,
meskipun beberapa yang perlu mendapat kritik dengan istilah ‘silang budaya’
(Beny lebih suka memakai istilah ‘antarbudaya’). Pada umumnya, terjemahan buku
ini dalam bahasa Indonesia patut mendapat apresiasi yang tinggi. Kualitas
terjemahannya bagus. Artinya, maknanya tersampaikan, walaupun (dan tidak perlu)
kata per kata, termasuk judulnya.
Buku ini bisa dibaca oleh mahasiswa,
dosen sastra, atau siapa saja yang berminat pada sastra dan kritik sastra.
Semoga bermanfaat...
DSW