Jumat, 01 Juni 2012

Jawa Dicengkeram Candu


Data Buku
Judul  : Opium To Java; Jawa dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860 – 1910
Judul Asli    : Opium To Java; Revenue Farming And Chinese  Enterprise in Colonial Indonesia 1860-1910
Penulis        : James R. Rush
Penerjemah : E. Setiyawati Alkhatab
Penerbit      : MataBangsa
Tahun         : 2000 (cet. Pertama)
Tebal          : xx + 604 halaman
ISBN          : 979-9471-00-1

 Perih di dalam dada melihat gambar dan membaca paparan buku ini tentang kondisi korban-korban opium. Berdiri bulu kuduk mendengar penjelasan perilaku, sistem, kultur, dan tradisi yang menciptakannya dan yang mendukungnya karena keuntungan material semata dan hasrat menguasai (will to power) belaka meskipun dibungkus dengan alasan-alasan etis.
                Itu kesan utama membaca huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, dan bab demi bab (tetapi tidak jarang terlewatkan juga) buku James R. Rush berjudul Opium To Java; Jawa Dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860 - 1910 ini.
                Opium adalah nama lain dari produk narkotik yang dijual di Jawa dengan nama candu, yaitu opium mentah yang disuling dan kemudian dicampur dengan penguat rasa dan sejumlah bahan campuran lainnya. Sedangkan produk yang kualitasnya rendah dan lebih murah disebut oleh orang Jawa sebagai tike. Candu dihisap dengan badutan yang sangat mahal harganya. Sedangkan tike biasanya dicampur dengan daun awar-awar (ficus septica) atau bisa dicampur dengan tembakau yang digulung dengan daun jagung (klobot) sebagai rokok.
                Yang mengherankan, ternyata konsumsi candu di Jawa pada tahun 1882 sangat tinggi. Diperkirakan satu dari dua puluh orang Jawa menghisap opium. Candu diperjualbelikan bebas. Sebelum Belanda (VOC) menguasai dan memonopoli opium, saudagar-saudagar Arab pun juga memperjualbelikan opium ini di Asia, termasuk Jawa. Setelah berhasil berkuasa pada tahun 1677, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) membuat perjanjian dengan Raja Amangkurat II dari Jawa yang menjamin diberikannya monopoli untuk mengimpor opium dan mengedarkannya di wilayah kerajaannya, Mataram. Tidak lama kemudian, kerajan Cirebon bertindak hal yang sama. Akhirnya, peredaran opium menyebar keseluruh Jawa, kecuali Priangan (Sunda) dan Banten karena kuatnya penolakan ulama. Baru setelah dibuka toko-toko opium di bawah Regi Opium, peredaran opium juga melanda wilayah-wilayah ini.
                Buku karya James R Rush ini banyak menguraikan bagaimana Jawa berada dalam cengkeraman bandar-bandar opium Cina Cabang Atas, Regi Opium Belanda, dan jaringan masing-masing dari pusat sampai ke pedesaan-pedesaan, termasuk mata-mata bandar atau regi sampai peran pamong desa jagabaya, khususnya pada masa kolonial pada paruh akhir  abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
                Di puncak hierarki, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) mengimpor opium mentah dan menarik pajak (cukai) untuk penjualannya. Ini dapat dilakukan karena Belanda mempunyai hak monopoli perdagangan opium dan melelangnya kepada syahbandar-syahbandar opium Cina Jawa. Syahbandar-syahbandar ini beroperasi sesuai kontrak satu tahun atau tiga tahun. Dalam operasinya, syahbandar-syahbandar ini mempunyai penjamin berupa kongsi dan mempunyai jaringan ke bawah dan ke samping. Bandar-bandar ini adalah sebuah elite kecil tetapi berkuasa, yang paling kaya, dan sukses. Inilah orang-orang Cina Cabang Atas dalam komunitas orang-orang Cina Jawa.

Dianggap Wajar
                Peredaran opium sudah dianggap wajar dan biasa di Jawa, bahkan tidak jarang dipakai sebagai obat misalnya penurun panas atau menahan sakit dan sebagainya. Sebenarnya, pasar gelap opium tidak ada gunanya lagi karena peredaran resmi saja sudah marak. Benarkah begitu ? Ternyata, peredaran opium di pasar gelap justru ramai, mencapai 60 % dari perdagangan ke seluruhan di Jawa. Salah satu penyebabnya, candu resmi harganya mahal. Tenaga-tenaga jasa keamanan syahbandar yang disuruh mengawasi penjualannya di desa-desa karena takut persaingan dengan para pengedar tidk resmi.
                Bisa dibayangkan, petani-petani sederhana dan miskin serta keluarganya dan masyarakat pada umumnya semakin dipermiskin dengan sistem opium ini. Rasanya, sulit dibayangkan kalau Jawa lepas dari konsumsi si mbok lara ireng ini. Dari mana datangnya kesadaran untuk lepas dari  candu dan harapan hari esok lebih baik ? Apakah konsep ratu adil yang memang marak di kalangan Jawa? Pasukan Diponegoro juga ada yang memakai candu agar berani berperang.  Dalam alenea terakhir buku inipun, mengisyaratkan pesimisme tersebut. Untuk membiayai perjuangan kemerdekaan pun, ternyata juga dibaiayai oleh pelelangan stok Regi Opium yang masih tersisa (hal.553).
                Meskipun demikian, selalu ada perlawanan dalam suatu kegelapan akibat opium itu. Kita perlu mencari jejak-jejaknya untuk menumbuhkan optimisme yang bukan sekedar membuai tetapi yang lebih realistik. Dari mana kita menemukan kesadaran itu ?
                Dari para syahbandar opium, jelas tidak mungkin. Dari pemerintah (Belanda), rasanya juga sulit meskipun menempuh politik etis dan menganggap Hindia Belanda sebagai 'adik kandung'-nya sendiri yang perlu diangkat. Atau dari para priyayi Jawa dalam pemerintah-pemerintah lokal seperti bupati, wedana, asisten wedana, camat, demang, jagabaya ? Ini lebih sulit lagi di samping sistem feodal yang sangat kuat, mereka mendapat cantolan kekuasannya pada pemerintahan Belanda karena cantolan pada raja sudah longgar atau bahkan tidak ada lagi. Atau mungkin kesadaran itu muncul dari pecandu opium itu sendiri yang selalu pergi ke pondok-pondok opium di kota dan menghisap candu di bale-bale, berbaring berselonjor kaki dengan badan setengah miring sambil melepas ikat kepala supaya rambut hitam yang panjang tergerai di atas bantal bale-bale itu ? Sepertinya juga tidak. Kalau demikian, jangan-jangan yang muncul justru Suluk Gatoloco (digambarkan sebagai kepala penis) yang ditulis seorang priyayi mistik Jawa untuk mengolok-olok kaum muslim farisi selagi menghisap candu.
Kesadaran
                Kesadaran itu bisa diharapkan, misalnya dari seorang bernama Multatuli alias Eduard Douwes Dekker yang menulis Max Havelar sebagai novel politik bahkan dikenal sebagai 'opium roman'. Novel itu menjadi semangat zamannya untuk berjuang. Kesadaran itu juga bisa diharapkan dari sosok seperti M.T.H. Perelaer yang melawan sistem opium ini dengan novel anti-opiumnya berjudul Baboe Dalima yang diterbitkan sekitar tahun 1886 dalam bahasa Belanda. Tentu novel ini menusuk jantung pemerintahan Belanda dan elit berkuasa di Belanda. Nama Isaac Groneman juga menyerukan semangat yang sama anti-opium dengan novel Een Ketjoegeschiedenis, Kisah Seorang Ketjoe (baca: kecu = rampok, bandit). Tidak ketinggalan juga Pieter Brooshooft ujung tombak koran Semarang De Locomotief yang mengeluarkan petisi dalam buku Memorie Over den toestana in Indie (Memorandum tentang Keadaan di Hindia).
                Tidak kalah menariknya dalam semangat anti-opium ini adalah RA Kartini dengan surat-suratnya (Surat-Surat Kartini. Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya diterjemahkan Sulastin Sutrisno, 1979). Dalam surat pertamanya kepada Nona E.H. Zeehandelaar atau Nona Stella, justru dia merasa prihatin terhadap kesengsaran bangsanya, Jawa. Ia menyebut candu sebagai benda laknat (putri Jawa yang halus perasanya harus mengatakan demikian). Penyakit sampar Jawa bukannya pes tetapi lebih dari pada pes, yaitu candu.
                Semangat anti-opium yang memang kecil pada awalnya tetapi terus menggelinding makin besar dan akhirnya membelok ke arah politik dan melahirkan Politik Etis. Apa yang terjadi ketika Politik Etis itu menangkap semangat dan gelora anti-opium itu ? Kita boleh ikut bersorak karena bandar-bandar opium dihapus. Tapi, ternyata bandar-bandar opium itu hanya diganti dengan sistem Regi Opium yang tidak kalah eksploitatifnya dibanding dengan bandar-bandar sebelumnya bahkan lebih terang-terangan.
                Akibatnya, jaringan opium bandar-bandar Cina Cabang Atas porak poranda. Tapi, dengan demikian malah muncul pengusaha-pengusaha tangguh dan ulet dari kalangan Cina seperti Oei Tiong Ham dan generasi muda Cina Jawa yang menjauhi opium. Sementara orang-orang Jawa tetap dicengkeram opium di bawah Regi Opium. Bahkan dengan semangat Politik Etis, Belanda dengan bangga menunjukkan proyek etisnya berupa pabrik opium terbesarnya di Batavia. Program pendidikan digalakkan di kalangan elite Jawa, tetapi hasilnya kebanyakan diserap sebagai pegawai-pegawai Regi Opium, mantri penjualan opium dan pembantu-pembantunya. Merekalah yang bertugas menjual opium kepada bangsanya sendiri, saudara-saudaranya sendiri, tetangga-tetangganya sendiri, teman-temannya sendiri.
                Dengan alasan moral, politik etis Belanda memang berhasil mengenyahkan bandar-bandar opium yang sebenarnya adalah ciptaan Belanda sendiri. Sebagai gantinya, penjualannya di tangan Belanda sendiri. Dengan demikian, keuntungannya berlipat-lipat. Selain itu, kesadaran orang-orang Jawa di bawah kendalinya, tanpa perlawanan yang berarti sampai berakhirnya kekuasaan Belanda sendiri karena dipaksa Jepang.
                Buku ini merupakan penelitian James R. Rush dimulai di Yale University. Sungguh sangat bermanfaat untuk mempelajari lebih lanjut tantangan-tantangan kini dalam bentuk-bentuk barunya seperti narkotika dan yang lebih dekat dengan opium adalah rokok. Belajar dari sistem-sistem dan kultur yang terjadi di masa lalu, kita bukan hanya memetik hikmah saja tetapi lebih mampu memahami sistem yang sekarang terjadi sehingga menyiapkan antisipasi yang mungkin akan terjadi di masa depan. Itulah gunanya sejarah. Mengenal diri kita sendiri.
                Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit MataBangsa yang dilakukan E.Setiyawati Alkhatab, juga perlu dilihat dalam konteks itu sehingga buku ini tidak hanya menjadi milik elite intelektual di kantung-kantung lembaga universitas atau LSM dan bahkan mungkin hanya diletakkan di gudang buku, tetapi juga dapat memberi semangat publik. Dalam banyak hal, misalnya, buku ini juga mengacu sejarawan seperti Onghokham. Dan, ia sosok anti-rokok (saudara sepupu candu) mulai di era BPPC meskipun ia tetap hedonis masakan dan minuman.
                Akhirnya, meskipun buku James R. Rush ini diterbitkan dalam Bahasa Indonesia duabelas tahun yang lalu, kiranya masih relevan untuk masa kini mengingat narkotika (dan tentunya rokok) masih mencengkeram bangsa Indonesia. Selamat membaca.
Daniel Setyo Wibowo

Fransiskus dan Bonaventura


Data Buku
Judul: Fransiskus dan Bonaventura
Judul Asli : Francis and Bonaventure
Penulis : Dr. Paul Rout, ofm
Penerjemah : Anton Wuisan
Editor Seri : Peter Vardy
Penerbit : Kanisius
Tahun : 2005 (cet. Kelima)
Tebal : 102 hal.; 14 x 20,5 cm
ISBN : 979-21-0134-9
 
"Kita seharusnya tidak boleh percaya bahwa membaca saja sudah cukup tanpa merasakan, merenung tanpa devosi, menelaah tanpa keingintahuan, mengamati tanpa kegembiraan, bekerja tanpa kesalehan, mengetahui tanpa cinta, memahami tanpa kerendahan hati, berikhtiar tanpa rahmat ilahi." (Bonaventura, I Prologue 4)

Berjumpa dengan Allah sungguh merupakan hal yang paling mempesonakan dan sekaligus menggentarkan (nominosum fascinosum et tremendum), meminjam istilah Rudolf Otto, bukan saja bagi orang kudus dari Asisi yang fenomenal itu, Fransiskus, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak orang dan dunia. Bonaventura bukan hanya menyingkap misteri itu, tetapi tersedot juga dengan pengalaman Fransiskus yang membuat jiwanya melompat kegirangan.

Pengalaman Fransiskus yang otentik itu, tampak secara lahiriah tidak masuk akal. Ia yang biasanya berhura-hura bersama kawan-kawannya untuk menyanyi dan berkeliling ke sana kemari serta menggebu ingin menjadi ksatria dengan ikut berperang dalam negara-kotanya, tiba-tiba meninggalkan semua kesenangannya itu termasuk lindungan orang tuanya yang kaya raya. Ia pulang di medan laga perang seperti seorang pengecut bahkan kalah sebelum perang. Lebih-lebih tidak masuk akal lagi, orang yang biasanya menghindar dari orang kusta karena jijiknya, justru kini malah turun dari kuda, memeluk, dan menciumnya. Dari sinilah kehidupannya berubah 180 derajat. Berbalik dari kesenangan dan kesia-siaan duniawi dan masuk dalam kuasa ilahi. Suatu pertobatan total.

Apa yang menjadi sukacita (sejati) baginya, kini semakin mencengangkan banyak orang, yaitu ketika ia ditolak bermalam di biara yang didirikannya sementara di luar kondisinya malam, hujan salju, sangat dingin, dan tubuhnya sakit. Bagi pengalaman Fransiskus, itulah justru sukacita sejati jika hal itu diterima dengan sabar, tidak marah, dan penuh kasih.

Pengalaman-pengalaman Fransiskus baik yang diceritakan seperti Thomas Celano atau Bonaventura atau surat-surat Fransiskus (berupa karya-karya 'dikte') dan Anggaran Dasar (baik Anggaran Dasar Tanpa Bulla maupun yang dengan Bulla) bagi saudara-saudaranya, menunjukkan betapa orang kudus ini diberkati dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Allah. Pengalaman itu tidak abstrak tetapi konkrit. Dan, karena itu kita bisa belajar banyak dari situ. Beruntunglah para saudara-saudara Fransiskan yang banyak menggali misteri ini baik melalui sumber-sumber atau praktek-praktek yang menurut Anggaran Dasar dalam Persaudaraan Fransiskus.

Akan halnya dengan Bonaventura, ia mengantar dan membimbing kita melihat pengalaman-pengalaman Fransiskus itu agar kita juga bisa melakukan perjalanan menuju Allah dengan seluruh yang ada pada kita : indera, pikiran, perasaaan, hati, keinginan, dan tubuh. Dalam karyanya De Scientia Christi (Masalah-masalah Yang Diperdebatkan, Seputar Pengetahuan Kristus), Bonaventura memberikan pengajaran yang sungguh mencerahkan.

Proses pembelajarannya melalui proses debat antara dua sudut pandang yang bertentangan. Tapi, pada akhir perdebatan, masalahnya akan dipecahkan. Dan, apa yang didiskusikan adalah pengetahuan Kristus. Tujuan proses ini adalah seseorang mendapatkan pengetahuan yang diciptakan. Ini adalah pengetahuan yang kita dapatkan saat kita merefleksikan pengalaman kita secara rasional tentang dunia sekitar kita. Semuanya itu tentu dilandasi dengan iman dan tidak keluar dari iman. Filsafat dan Teologi, dengan demikian tidak dipisahkan seperti menggejala dalam era modern.

Kita diajak mengetahui realitas dunia sekitar kita, tetapi perlu diakui bahwa realitas itu memiliki dimensi yang transendental, yang suci, yang kudus sebab segala sesuatunya berasal dari Allah. Dengan begitu, kita mendapatkan suatu sikap penghargaan atas dunia berdasarkan pengalaman-pengalaman kita. Bagaimana ini bisa terjadi karena semua realitas ciptaan merupakan tanda petunjuk arah yang memberitahu kita ke mana kita harus pergi. Dari sinilah dapat dimengerti penghargaan Fransiskus yang mendalam terhadap semua makhluk dan alam yang disebutnya sebagai saudara dan saudarinya. Hubungannya bukan penundukan, penguasaan seperti ditunjukkan kecenderungan dewasa kini yang mengeruk dan mengeksploitasi segala sesuatunya.

Semua realitas ciptaan memang suatu tanda menuju Allah. Lantas, bagaimana kita mengenal tanda itu ? Kita mengenal tanda itu hanya dengan membacanya. Karena itu, tidak heran bila dalam semangat Bonaventura, kegiatan membaca dan studi itu mendapat penghargaan yang layak.

Membaca
Kita bisa memang mengenal tanda itu dengan membaca. Akan tetapi, tidak berhenti di situ, Bonaventura lantas mengajak kita belajar membaca tanda-tanda tersebut dengan tepat. Dunia - demikian Bonaventura - seperti sebuah buku. Jika buku itu dapat dibaca, ia akan mengarahkan pembacanya kepada Allah.

Terkadang buku itu tidak bisa dibaca karena kesombongan dan egoisme manusia itu membawa kegelapan ke dalam dunia. Karena itu, kita bisa membaca kalau diterangi Allah dengan mendengarkan pewahyuan diri Allah dengan penuh perhatian dan refleksi. Semua itu perlu dilakukan bukan karena alam atau dunia sekitar kita, tetapi dambaan akan Allah harus mendorong kita untuk menghargai lebih jauh segala hal yang telah diciptakan Allah dan tidak menyebabkan kita memisahkan diri dari ciptaan tersebut, tetapi justru terlibat di dalam dunia ciptaan karena kita adalah bagian darinya.

Lantas, perjalanan menuju Allah perlu diteruskan dalam proses yang menyentuh inti. Bagaimana manusia yang terbatas ini dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah yang tidak terbatas ? Di sinilah lantas peran sapientia (kebijaksanaan) begitu penting. Kebijaksanaan ini merupakan suatu bentuk pengetahuan yang didapatkan tidak saja melalui intelegensi, tetapi juga cinta.

Kebijaksanan ini dibedakan : kebijaksanan yang diciptakan dan kebijaksanan yang tidak diciptakan. Ini bisa dicapai bila dunia (tidak sekedar dibaca saja) tetapi dihadapi dengan semangat kontemplasi penuh doa. Inilah kebijaksanan yang diciptakan. Dalam tahap ini, manusia menjadi manusia baru. Tahap berikutnya adalah ketika jiwa manusia menerima anugerah tertinggi dari Allah yaitu kehadiran ilahi. Inilah kebijaksanan yang tak diciptakan.

Buku karya Paul Rout berjudul Fransiskus dan Bonaventura ini sangat bermanfaat bagi orang kristen yang ingn mengembangkan kehidupan rohani mencapai kepenuhannya, seperti diamanatkan Injil suci. Pembahasannya ringkas, padat, dan mencerahkan. Ia menyemangati untuk mencapai kesempurnaan. Fransikus dan Bonaventura berusaha sungguh-sungguh dan bahkan melalui jalan pertobatan yang tidak dimengerti kebanyakan orang. Dan, pada akhirnya mereka memperoleh rahmat, diberkati, kehadiran ilahi. Bagaimana dengan kita....? Selamat membaca.
Daniel Setyo Wibowo