Jumat, 26 Oktober 2012

Membaca dan Membaca Lagi


Data Buku

Judul               : Membaca, dan Membaca Lagi: [Re]interpretasi Fiksi Indonesia 1980 - 1995
Judul Asli        : Reading Matters : An Examination of Plurality of MEaning in Indonesian Fiction 1980 - 1995
Penulis             : Dr. Pamela Allen
Penerjemah      : Dr. Bakdi Soemanto
Kata Pengantar: Prof. Dr. Benny H. Hoed
Penerbit           : Indonesia Tera
Tahun              : 2004
Tebal               : xxxii + 320 halaman
ISBN               : 979-9375-60-6

            Ketika kita membaca buku atau teks atau naskah baik fiksi maupun nonfiksi, apa yang mau kita cari ? Makna ! Boleh jadi, buku itu menghibur, membuat teka-teki, mengajak refleksi, memberi petuah, membelokkan untuk menyesatkan secara halus untuk sekedar mencari keuntungan, atau bahkan menebar teror kesadaran. Boleh jadi buku itu merupakan rangkaian cerita yang lurus dan logis sampai cerita absurd, berisi rumus-rumus dan penyelesaian soal, mode pakaian atau masakan, berisi teknik akuntansi, komputer, berpidato atau bagaimana menjadi kaya sesegera mungkin. Namun, hanya dengan mambaca sajalah, teks-teks itu memberikan maknanya. Lantas kita memahaminya dan menggunakannya. Bisa jadi, kita sebenarnya menangkap maknanya lantas kita menyembunyikan itu dan mengatakan hal lainnya atau makna lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.
            Permasalahannya, bagaimana membaca dengan 'baik dan benar' ? Istilah 'baik dan benar' di sini dipakai dengan kata-kata yang lazim digunakan seperti berbahasa yang 'baik dan benar'. Bagaimana kita dapat memahami makna dengan tepat ? Jawabnnya mungkin sederhana. Teks itu sendiri akan menampilkan maknanya secara eksplisit. Bisa jadi. Tapi, banyak teks yang menyembunyikan maknanya dalam sesuatu yang 'tak kelihatan' langsung, entah lewat strukturnya, permainan kata, tata bahasa, dan sebagainya. Bagaimana memahami semua itu ?
            Membaca sekali atau dua kali, kita mungkin menangkap jalan ceritanya atau garis besarnya. Membaca sekali lagi dan lagi, mungkin terasa makna lebih dalam. Mencari latar belakang penulis dan latar belakang sosial, politik, atau budaya yang terjadi saat teks itu ditulis dari buku-buku atau informasi-informasi lain, mungkin akan memperdalam lagi makna itu. Mungkin orang lain akan menangkap makna yang berbeda dari teks yang sama. Orang lainpun mungkin akan berbeda pula. Atau jangan-jangan kita salah baca. Bagaimana dengan maksud pengarang ?
            Buku karya Dr. Pamela Allen berjudul Membaca, dan Membaca Lagi: [Re]interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995 ini sangat membantu menjawab masalah-masalah di atas. Buku yang berjudul  aslinya Reading Matters : An Examination of Plurality of Meaning in Indonesian Fiction 1980 – 1995, sangat jernih memaparkan hasil ‘membaca, membaca, dan membaca lagi’ penulisnya atas karya-karya tiga sastrawan berpengaruh di Indonesia antara tahun 1980 – 1995. Sastrawan itu adalah Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, dan Putu Wijaya.
            Karya-karya yang dicermati dari Pramoedya adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan  Rumah Kaca (1988). Pamela menyebutnya sebagai “Kuartet Buru”. Sementara karya Y.B. Mangunwijaya adalah Burung-Burung Manyar (1981), Durga Umayi (1991), dan Burung-Burung Rantau (1993). Sedangkan novel-novel Putu Wijaya antara lain Sobat (1981), Perang (190), Teror (1991), Kroco (1995), dan Byarpet (1995).
            Pendekatan yang dipakai sangat menarik, yaitu pendekatan tanggapan-pembaca atau teori resepsi pembaca. Pendekatan ini menekankan bahwa makna suatu karya sastra tertentu merupakan hasil interaksi antar pembaca dengan teks. Lalu konsekuensinya makna menjadi tidak tunggal. Ia plural.
            Pendekatan itu sendiri diambil dari tiga tokoh seperti Antony Easthope dalam bukunya berjudul Literary into Cultural Studies (1991), Catherine Belsey dalam bukunya Critical Practice (1990), dan Umberto Eco dengan bukunya The Limits of Interpretation (1990).
            Pendekatan yang dipakai Pamela sebenarnya upaya sintesis dari dua kecenderungan, yakni di satu sisi makna itu sudah tidak tergantung pada pengarang, tetapi sepenuhnya mutlak tergantung pembaca begitu teks lepas dari pengarang dan dibaca pembaca. Pengarang itu sudah mati. Salah satu pendekatan ini diwakili, misalnya oleh Roland Barthes. Di pihak lain, kecenderungan lebih kearah konvensional yang menekankan unsur obyektivitas yang diartikan makna itu sangat tergantung pada pengarang. Bagaimanapun juga teks itu dihasilkan oleh pengarang sehingga teks tidak bisa dilepaskan dari maksud pengarang. Maknanya lalu menjadi tunggal sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah. Pendekatan ini didukung oleh antara lain E.D. Hirsch Jr.
            Dengan pemaparan berbagai pendekatan dan mengambil suatu sintesis, buku Pamella yang dikembangkan dari tesis doktoralnya ini, merupakan pendekatan ilmiah. Ini juga bisa disebut sebagai kritik sastra atau analisis sastra. Di sinilah kekuatan buku ini. Ia kritis terhadap karya tiga sastrawan berpengaruh di Indonesia dari tahun 1980 hingga 1995. Ia bukan pembaca biasa, seperti dikatakan Prof. Dr. Beny H. Hoed, dalam kata pengantarnya. “Ia (seorang kritikus sastra, pen.) harus menempatkan dirinya lebih dari seorang awam yang membaca karya sastra. Ia harus memberikan pencerahan kepada peminat sastra agar seluruh karya dapat dipahami makna secara lebih komprehensif,” tegasnya.

Hasil

Dari pendekatan di atas dan karena tidak bisanya Dr. Pamela Allen menyingkirkan pengarang (karena kenal secara pribadi), maka dihasilkan suatu tipologi sastra di Indonesia antara periode sebelumnya yang sudah dikenal baik. Misalnya pada awal 1980-an perdebatan ‘sastra kontekstual’ menghidupkan kembali suatu perdebatan yang sudah dikenal baik dan seakan berputar. Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, dan Putu Wijaya mewakili tiga corak sastra di Indonesia yang ditandai antara kutub-kutub realis – antirealis, serta nasionalis – neoregionalis.
            Karya-karya Pramoedya bercorak realis dan nasionalis. Sementara Mangunwijaya mencerminkan keindonesiaan yang diramu dari beberapa eksperimentasi, fantasi, dan tradisi wayang. Sedangkan karya-karya Putu Wijaya merupakan antitesa dari tulisan Pramoedya : fantastik dan bersifat tidak langsung, dan meraciknya dengan tradisi Bali, Jawa, dan Jakarta (hal. 251 – 252).

Membuka Tabir
            Apa yang mengejutkan dari buku ini adalah dari mana suatu ‘ide’ tulisan tiga sastrawan itu terilhami, apa makna-makna simbolisme (misalnya plesetan, permainan kata, dan sebagainya), apa maksud pengarang, dan latar belakang sosio-politik serta hal-hal tentang kepengarangan, terungkap. Buku yang diterjemahkan dengan apik oleh Dr. Bakdi Soemanto ini, bagaikan membuka tabir.
            Misalkan saja, karya Burung-Burung Manyar dihubungkannya dengan keluarga Jenderal (Purn.) Wiranto, isterinya Yuniarti, dan anak-anaknya. Atau Durga Umayi yang diilhami dari Autumn of the Patriarch-nya Gabriel Garcia Marquez.
            Tidak mengherankan, jika karya Pamela ini memang betul-betul ditulis dengan teliti dan rinci. Selain uraiannya yang menyibakkan hal-hal yang ‘tersembunyi’ dari teks utama, studi yang tekun dan cermat bisa terlihat juga dari daftar pustakanya.

Suatu Pertanyaan
            Kecenderungan terhadap perhatian yang lebih pada pengarang, biasanya dibayar dengan sedikit ‘melupakan’ lingkungan sekitarnya. Misalkan, ketika kita membaca Durga Umayi.  Apalagi tokoh utamanya Punyo Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida atau dipanggil dengan Iin. Ini mengingatkan pada sosok sekretaris Bung Karno yang berasal dari Pulau Tello seperti diceritakan Bung Karno sendiri kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Apalagi menyangkut permainan kata pada kisah akhir (hal. 19). Padahal, buku biografi  Soekarno ini tentu sudah banyak dikenal banyak orang. Apa hubungan ini dengan Durga Umayi, tidak diketahui. Masalahnya berbeda jika maksud pengarang secara eksplisit ditujukan untuk kritik terhadap sosok Bung Karno misalnya atau lebih besar lagi terhadap proklamasi.
            Kalau contoh di atas diteruskan, maka pendekatannya kembali lagi ke soal makna itu tunggal atau plural, ditentukan pengarang atau pembaca. Buku ini memang memberi masukan yang sangat berarti, tetapi meninggalkan sejumlah pertanyan yang belum terjawab.

Pemahamn Diri
            Pendekatan ilmiah dan permasalahan makna ini justru menjadi titik kritis Pamela Allen. Apalagi seperti diakuinya sebagai pembaca non-Indonesia, berusaha mendekati sastra Indonesia seperti Pramoedya, Mangunwijaya, dan Putu Wijaya. Di sinilah masalah dua budaya yang saling berinteraksi. Menarik…
            Lalu, apa yang muncul dari pendekatan seperti ini,adalah kemungkinan besar masalah bias berhadapan dengan etnosentrisme. Prof. Beny H. Hoed sudah mengingatkan hal itu dalam kata pengantarnya.
            Bagaimana menghadapinya, Beny langsung menusuk jantung masalahnya, yaitu: memahami diri, mengenali diri sendiri dalam kaitan dengan teks. Inilah inti interpretasi, seperti diketengahkan Paul Ricoeur.
            Terjemahan buku ini sangat bagus, meskipun beberapa yang perlu mendapat kritik dengan istilah ‘silang budaya’ (Beny lebih suka memakai istilah ‘antarbudaya’). Pada umumnya, terjemahan buku ini dalam bahasa Indonesia patut mendapat apresiasi yang tinggi. Kualitas terjemahannya bagus. Artinya, maknanya tersampaikan, walaupun (dan tidak perlu) kata per kata, termasuk judulnya.
            Buku ini bisa dibaca oleh mahasiswa, dosen sastra, atau siapa saja yang berminat pada sastra dan kritik sastra. Semoga bermanfaat...

DSW

Percakapan Erasmus


Data Buku :

Judul   : Percakapan Erasmus
Penulis             : Desiderius Erasmus
Penerjemah      : H. B. Jassin
Pendahuluan   : J. Trapman
Penerbit           : Djambatan
Tahun :1985
Tebal    : xviii + 246 halaman


Anton   : Tidak adakah yang ingat kepada Santo Kristoffel ?
Adolf    : Ada. Aku mendengar seseorang (dan aku tidak bisa menahan tawaku) yang berjanji
             dengan suara nyaring supaya kedengaran Santo Kristoffel yang berada di Katedral di       Paris, yaitu patung sebesar gunung. Bahwa ia akan memberinya lilin yang sama besarnya        dengan patung itu. Seorang yang berdiri di sampingnya, seorang kenalan baik yang    mendengarnya berteriak-teriak, menyenggolnya dari samping dan berkata            memperingatkan, "Diam, tolol..!" bisik orang yang bernazar itu (sebab tentu saja Santo     Kristoffel tidak boleh mendengar apa yang dikatakannya ini). "Kau kira aku akan menepati   apa yang aku janjikan ? Sekali tiba di darat aku akan memberinya lilin biasa saja," katanya.

            Buku Percakapan Erasmus ini buku jadul (jaman dulu) bukan saja terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia era 80-an. Sementara buku aslinya tahun 1518. Jadi, memang sangat jadul. Tapi, apakah relevan bila dibaca saat kini yang hingar bingar dan deras arus informasi ini tanpa jatuh pada semangat romantisisme belaka seperti ditunjukkan era Romantik di Barat. Di situlah menariknya buku ini, yang masih tetap memberi warna kemanusiaan apalagi untuk pendidikan. Ia tidak cepat lapuk di makan usia jaman.
            Kutiban dialog di atas sebagai salah satu contohnya.  Dipetik dari Bab 'Kapal Karam'. Dalam  bab itu dikisahkan - dalam bentuk dialog antara Anton dan Adolf - bagaimana sikap orang-orang ketika mendapati kapal yang ditumpanginya akan hancur berantakan diterpa ombak besar. Hal ini terjadi seperti digambarkan film Titanic atau di kehidupan sehari-hari dengan kondisi transportasi seperti tenggelamnya kapal-kapal barang bekas yang disulap menjadi kapal penumpang dan sebagainya.
            Penumpangnya akan dilemparkan ke puncak setinggi langit dan dihempaskan ke dasar oleh badai dahsyat. Digambarkan pula di dalamnya bagaimana mereka dipaksa harus merelakan barang-barang berharganya dilempar ke laut untuk mengurangi beban kapal dan menyelamatkan nyawa.
            Hal itu belum seberapa. Yang lebih dahsyat adalah setelah semuanya habis, termasuk tiang dan layar roboh dan ditelan lautan. Seluruh badan kapal retak dan dapat dipastikan tenggelam dalam beberapa detik kemudian. Berbagai macam peristiwa dan tingkah laku dikisahkan dalam kondisi demikian. Kadang konyol, lucu, atau bahkan menggelitik. Mungkin ini tidak perlu ditertawakan karena memang suatu tragedi. Dan, pada akhirnya memang harapan yang besar terletak pada pertolongan Tuhan. Namun, sikap keagamaan itu berbagai macam bentuk dan perwujudannya ketika situasi kritis terjadi. Dan, siapa yang akan sampai duluan di pantai ? Atau siapa yang tenggelam ? Menarik...

Kritik Keras
            Bab 'Kapal Karam' itu hanyalah satu bab dari 12 bab buku karya Erasmus ini. Buku ini diterjemahkan almarhum HB Jassin dari terjemahan NJ. Singels Een Twaalftal Samenspraken, dan Een Tweede Twaalftal Samenspraken’dan juga terjemahan C. Sobry berjudul Een Derde Twaalftal Samenspraken.
            Buku ini awalnya diterbitkan tahun 1518 dengan judul Colluquia (Percakapan) berbahasa Latin. Buku ini menuai kritik keras bukan hanya dari Gereja Katolik, tetapi juga dari pihak tokoh reformis Gereja seperti Martin Luther.
            Mengapa buku ini begitu menuai kritik keras dari kalangan  Gereja ? Lepas bagaimana Gereja menyikapinya, buku ini memang bisa membuat telinga tokoh-tokoh Gereja merah dan lantas marah. Bagaimana kebiasaan-kebiasaan para biarawan seperti Fransiskan, Karmelit, Dominikan, dan Agustinian dibeberkan. Termasuk di dalamnya bagaimana motivasi seseorang masuk suatu biara untuk menjadi biarawan dalam bab ‘percakapan orang tua-tua”
            Lebih dari pada itu, perang ketiga raja, yaitu Karel V, Kaisar Roma yang suci, Francis I (raja Perancis) dan Henry V, Kaisar Roma yang suci, Fransiskan I (Raja Prancis) dan Henry VIII (raja Inggris) seakan-akan itu semua karena perintah Tuhan. Para Raja itu berperang karena dihasut oleh pastor atau pendeta atau biarawan yang dengan penuh tipu daya dan mengejar keuntungan semata dan karena itu mereka di mana-mana, mencoba menimbulkan pertikaian dan peperangan. Itu semua dikisahkan dalam dialog antara Karon dan Alastator dalam bab ‘Karon, Tukang Tambang ke Dunia Roh.’
            Dalam berperang itu, seperti diuraikan J Trapman dalam pendahuluan, tiap pihak yang berperang mengira Tuhan berada di pihaknya. Hal inilah yang justru ditentang Erasmus. “Baginya, Tuhan adalah Tuhan persatuan dan perdamaian; Agama, Tuhan adalah Tuhan Persatuan dan perdamaian; Agama tidak bisa sejalan dengan perpecahan dan dendam kesumat dan pastilah tidak dengan peperangan.” Tegas Trapman. Erasmus bersungguh-sungguh dengan pikiran-pikirannya yang membela kebenaran. Tapi khas menjadi cirinya pula bahwa ia dapat menuangkannya dalam bentuk yang ringan.
            Selain kehidupan para imam dan biarwan yang menjadi kritik Erasmus, ia memperhatikan juga perilaku rumah tangga atau khususnya kehidupan suami isteri. Dalam bab “Perkawinan Yang Tidak Bahagia” Erasmus sangat peka menggambarkan bagaimana ia menasehati perempuan-perempuan agar perkawinan menjadi bahagia lewat dialog Eulali dan Xantippe.
            Dalam hal kerja, Erasmus juga sangat menawan melukiskan bagaimana bertingkahlaku dalam berdagang dalam bab “Pedagang Kuda”, atau juga dalam bab ‘Kaya tapi Kikir’.

Lucu
            Tulisan-tulisan Erasmus bisa dikatakan ringan, lucu, menarik, bersemangat, tetapi juga mengena, tepat sasaran. Dan itulah yang mungkin menjadi bobot tulisan Erasmus.
            Beberapa terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini, khususnya, menyangkut ajaran atau tradisi Gereja  atau biara , memang kurang pas, seperti Dara Maria, Korinte, Tuhan Bapa, Bintang segara, Penguasa Bumi – memang terlihat aneh atau kurang tepat. Terkadang juga membingungkan. Ini bisa dipahami, karena penerjemah belum masuk dalam komunitas suatu biara Gereja Katolik.
            Lepas dari kekurangan penerjemahannya tersebut, buku ini memberi sumbangan yang berarti dan masih tetap aktual meskipun latar belakang munculnya buku ini tahun 1518. Di kota Leuven, Belgia. Meskipun bahasa Latin banyak tidak diajarkan (kecuali di Seminari-seminari), tetapi buku ini sangat bagus untuk pendidikan karena buku ini mempertautkan antara kesantunan berbahasa dengan kesantunan perilaku. Kesantunan perilaku dalam buku ini memang dimaksudkan sebagai kesantunan Kristen yang juga diakui sebagai nilai-nilai universal.
            Kesantunan bahasa tidak diperoleh dari belajar tata bahasa dari buku-buku pelajaran sekolah yang kadang tidak menyenangkan, kaku, membosankan, atau menakutkan (karena muatan dari berbagai instansi seperti kurikulum atau tuntutan masyarakat), tetapi diperoleh dari buku-buku yang ‘berguna dan menyenangkan’ sebagaimana istilah Trapman dalam pengantarnya.
            Jadi…, ya  'Ridendo dicere verum'. Sambil tertawa riang menyatakan kebenaran. Selamat membaca.

DSW

Rabu, 17 Oktober 2012

Akeelah


Data Buku 
Judul               : Akeelah
Judul Asli        : Akeelah And Bee
Penulis             : James W. Ellison; didasarkan naskah film Doug Atchiuson
Penerjemah      : Sapardi Djoko Damono
Pengantar        : Sonya Sondakh
Penerbit           : Yayasan Obor Indonesia
Tahun              : 2007
Tebal               : 207 halaman
ISBN               : 978-979-461-642-0
                       
            Apa jadinya kalau anak-anak sekolah dasar (SD) berada dalam lingkungan yang kurang menguntungkan untuk mengembangkan bakatnya ? Bagaimana jadinya anak-anak dalam lingkungan sekolah yang kamar kecil dan mandinya tidak berpintu, minim fasilitas ? Bagaimana jadinya perkembangan anak-anak jika lingkungannya kumuh, tidak peduli satu sama lain, serta sebagian besar anak-anaknya suka buat gaduh dan kekacauan ? Atau bagaimana anak bisa berkembang dengan baik jika orang tuanya tidak memperhatikan anak-anaknya dan harus sibuk bekerja keras karena himpitan ekonomi dan kakak-kakaknya punya urusan masing-masing sehingga tidak peduli ? Atau bagaimana perkembangan anak jika mengetahui ayahnya yang sangat pintar dan peduli pada si anak justru tertembak di jalanan setelah membeli rokok ? Atau bagaimana nasib anak bila lingkungannya, tetangga-tetangganya atau teman-teman kakaknya senang mabuk bahkan sering terlibat narkoba ?
            Banyak orang bisa memastikan bahwa lingkungan seperti itu tidak cocok dengan perkembangan anak-anak. Anak-anak dalam lingkungan seperti itu, akan ikut 'pandangan' dalam pesimisme bahkan apatisme lingkungan. Kasarnya, anak-anak hampir bisa dipastikan akan menjadi brengsek juga.
            Bisa jadi. Akan tetapi, jawabannya bisa tidak selalu suram. Kecerahan bisa didapat dari sahabat yang tulus atau kenangan terhadap ayah atau teladan saudara. Pendampingan guru atau pembimbing sangat dibutuhkan demi perkembangan si kecil. Sebab, bagaimanapun keteguhan dan kepercayan diri yang tangguh dari seorang anak-anak atau bahkan seorang dewasa pun, ia memerlukan peneguhan.

Kata
            Namun, bila peneguhan dan dukungan itu tidak selalu hadir dan yang hadir selalu lingkungan dan pengaruh jelek yang menteror si anak, harapan apa lagi yang bisa membawa kecerahan dan keceriaan ? Masih ada. Ini bukan jalan buntu. Ada jalan, yaitu keajaiban ! Dan, keajaiban itu terletak pada "kata". "Kata" di tangan seorang anak berumur sebelas tahun, Akeelah Anderson.
            Buku karya James W. Ellison ini mengesankan. Ia mengolah kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, justru menjadi 'sarana' atau rahmat. Dan akhirnya, yang terjadi malah kebalikannya. Dunia diubah. Keputusasaan melumer berhadapan dengan keteguhan seorang gadis kecil. Dunia keterputusasaan diserbu dan diubah menjadi dunia yang berpengharapan.
            Seorang pengedar narkoba yang tidak disukai Akeelah karena berpengaruh buruk terhadap kakaknya Terrence, berubah hanya dengan menulis puisi. Keangkuhan Dylan karena memang pintar dan digembleng dengan keras oleh ayahnya, mencair di depan Akeelah hanya dengan kesengajaan untuk salah mengeja kata 'xanthosis' dengan 'z-a-n-t-h-o-s-i-s'. Padahal Akeelah tahu hal itu bisa salah dan dirinya bisa tidak mendapat juara dan pulang dengan tangan kosong.
            Di samping narasinya yang menarik, bentuk novel yang didasarkan pada naskah film Doug Atchison ini sungguh mengena. Biasanya suatu novel yang menarik dan dibaca banyak orang, diangkat menjadi film. Film-film petualangan Harry Potter didasarkan pada novel-novel kisah Harry Potter. Tidak jarang pula dari film-film itu dibuat suatu game untuk Playstation, dan sebagainya.
            Novel "Akeelah" ini justru membalikkan kebiasaan atau logika di atas. Dari film ke novel. Dari citra, gambar yang ditangkap panca indera ke simbol-simbol tulisan. Padahal proses pembuatan film itu sendiri sangat rumit dari kesan atau kisah dunia nyata atau novel diubah menjadi simbol atau tulisan atau naskah. Dan dari naskah itu, dibuat visualisasinya berupa gambar, citra. Menariknya, Novel 'Akeelah' mengembalikan lagi dari hasil visualisasi itu menjadi bentuk tulisan. Dan, tentu tulisan ini ditangkap oleh intelek dari pada pancaindera. Kiranya hal ini tepat karena sesuai dengan isinya yang menekankan kekuatan bahasa, khususnya kata dan karakter. Jadi, apa yang mau dituju buku ini bukan sekedar kesan-kesan yang timbul dari cerita yang bagus, tetapi juga memberi rangsangan intelek pada pentingnya kekuatan "kata" itu sendiri.
            Kekuatan "kata" untuk mengubah dunia itu ditunjukkan tokoh Akeelah dalam perjalanan jatuh bangun mengikuti kejuaraan bergengsi 'Scripps National Spelling Bee" atau lomba mengeja kata-kata. Lomba itu berjenjang dari tingkat sekolah, regional sampai tingkat nasional.

Pesaing

            Gadis berkulit hitam ini yang baru berusia sebelas tahun bukan hanya berhadapan dengan pesaing-pesaingnya di atasnya, tetapi ia berhadapan dengan budaya, sekolah keluarga, dan terutama dengan ketakutannya sendiri. Banyak faktor yang membesarkan ketakutannya dan banyak faktor pula jalan untuk mengatasinya.
            Dengan bimbingan Dr. Larabee, Akeelah berani menghadapi ketakutannya sendiri. Kebiasaan mengeja kata dengan tepukan tangan di pahanya, dibantu dengan lompatan tali milik puterinya, Denise. Yang menarik justru keberanian Akeelah menghadapi ketakutannya sendiri, membuat terbalik Larabee yang sebenarnya menghindari ketakutannya sendiri setelah meninggalnya Denise.
            Banyak hal dari novel ini membuat pembacanya bukan hanya terkesan, tetapi terkaget-kaget. Buku ini, menurut pengantarnya, Sonya Sondakh, pantas menjadi bacaan wajib bagi anak-anak Indonesia karena masih kurangnya bacaan-bacaan yang baik dan inspiratif. Novel ini baik karena mengusung nilai-nilai luhur kesetaraan, keluarga, dan persahabatan.
            Bagi orang dewasa pun, sebenarnya novel ini sangat berguna, apa lagi untuk orang tua, pendidik, atau calon pendidik. Selamat membaca dan dibuat tercengang-cengang.

Daniel Setyo Wibowo

Kenapa Kau Tidak Pulang Ke rumah ?


Data Buku


Judul               : Lepas Dari Belenggu Narkotika (Riwayat Hidup B.J. Thomas, Penyenyi Pop)
Judul Asli        : Home Where I Belong
Penulis            : B.J. Thomas dan Jerry B. Jenkins
Alih Bahasa     : Dra. Iesje Soemantri
Prakata           : Jerry B. Jenkins
Penerbit           : PT BPK Gunung Mulia
Tahun              : 1986 (cetakan pertama)
Tebal               : iii  +  137 halaman
ISBN               : 979-415-066-5


"Ada pertolongan bagimu di sini. Kenapa kau tidak pulang ke rumah ?"  kata Gloria, isteri B.J. Thomas.

            Menyentuh hati.... Itulah kata-kata dalam telepon yang diungkapkan Gloria, isteri B.J. Thomas ketika menjawab suaminya yang tidak bisa menghentikan kebiasaan kecanduan narkotika.  Suatu kata-kata yang pada akhirnya mengubah jalan hidup penyanyi pop ternama di Amerika Serikat era 1970-an  B.J. Thomas pada pertobatan dan kesembuhan terhadap kecanduan narkotika. Bahkan lebih jauh, peristiwa itu membawanya pada langkah  berhenti merokok yang jauh lebih sulit pada bulan-bulan pertama. Kata-kata itu pulalah yang membuat penyanyi pop ini kembali kepada isteri dan anaknya, Paige.
            Ia diterima dengan tangan terbuka oleh keluarganya yang memang menginginkan kembalinya B.J. Thomas. Padahal, Gloria dan Paige ditelantarkan begitu rupa dan juga mengalami tekanan batin dan fisik serta finansial yang morat-marit yang membuat Gloria mengambil keputusan untuk bercerai. Apalagi, cintanya kepada B.J. Thomas lama kelamaan luntur.
            Sementara B.J. Thomas meskipun sangat mencintai Gloria, merasa tidak pantas hidup bersama lagi karena setiap kali kumpul selalu perang mulut, main tangan, gara-gara narkotika yang dikonsumsinya. Ia pun menyadari hal itu dan menyesal, tetapi berulang kembali dilakukan. Pernikahan mereka diambang kehancuran yang tak mungkin terpulihkan. Cinta Gloria kepada B.J. Thomas, semakin hari semakin pudar dan padam. Ketika mereka bersama lagi dan pelantun lagu Raindrops Keep Fallin on My Head dan Another Done Somebody Wrong Song yang sangat populer ini tetap teler dan tidak bisa menghentikan kebiasaan itu karena berbagai macam narkotika yang diasupkan ke dalam tubuhnya mulai dari ganja, kokain, maupun valium. Semuanya dikonsumsi ayah Paige ini dalam jumlah yang sangat tinggi (over dosis) sehingga menghasilkan efek terhadap tubuh yang hebat dan luar biasa. Gloria juga mempunyai keterbatasan yang awalnya ia berniat mendampingi suaminya agar bisa sembuh, tetapi ia sendiri akhirnya tidak tahan terhadap kondisi yang mencekam itu sampai ia menemukan kekuatan rohani dalam diri Yesus Kristus dan mengatakan kata-kata yang membangkitkan minat untuk sembuh dalam diri suaminya seperti dikutib di atas. "Ada pertolongan bagimu di sini. Kenapa kau tidak pulang ke rumah ?" tanya Gloria.

Iseng
            Awal ketergantungan B.J. Thomas ini pada narkotika adalah iseng dan bersenang-senang. Padahal, ia tergolong penyanyi pop yang sukses dengan terjualnya piringan hitamnya hampir 35 juta buah ini. Dari awalnya iseng dan bersenang-senang kecil-kecilan ini, lama kelamaan dan menjadi biasa. B.J Tohmas menjadi tergantung pada narkotika apalagi ketika acara 'manggung'-nya padat dan berhari-hari sehingga dituntut selalu dalam kondisi prima. Dan, ‘kebugaran' semu itu didapat dari pengaruh narkotika.
            Anehnya, ia sendiri menyadari akan akibat negatif obat bius itu, tetapi ketergantungannya sudah tampak tak bisa dikendalikan lagi. Ia seakan tidak bisa terlepas dari obat bius itu. "Obat-obat bius itu telah menyebabkan aku menjadi sangat bingung, sehingga aku hanya akan mengikut saja ke arah mana angin yang bertiup paling kencang itu berhembus membawaku," katanya (hal. 64 - 65).
            Beberapa kali dicobanya untuk berhenti dan mengenyahkan obat-obat narkotik itu. Ia ingin berhenti. Ia ingin lepas dari jeratan narkotik itu. Tapi, tidak bisa. Tubuhnya tidak mau kompromi. Tubuhnya minta jatah asupan narkotik yang kian hari kian tambah dosisnya. Tubuhnya kejang-kejang seperti kena penyakit ayan jika asupan narkotik itu dihentikan. Namun, ketika asupan narkotik itu dituruti, kembali lagi B.J Thomas tidak bisa mengendalikan diri untuk mengonsumsi obat bius lebih banyak lagi. Tambah banyak lagi untuk menambah efek semu yang mengesankan.
            Pada puncaknya, selama berhari-hari B.J. Thomas teler terus menerus. Yang dilakukan bukan menyanyi karena ia telah merusak karirnya sendiri, tetapi bebas tanpa hambatan kegiatan atau rutinitas untuk mengkonsumsi segala jenis narkotika dalam jumlah yang cukup banyak. Ia tidak tidur berhari-hari meskipun tubuhnya mulai kelelahan minta istirahat, tetapi terus dipaksa teler. Ia ingin tidur tetapi tidak bisa. Tubuhnya terus menerus menuntut asupan narkotik sehingga ia sendiri merasa capek. Begitu capek, minta tambahan narkotik lagi. Terus begitu. Untungnya, rahmat Tuhan melalui kata-kata isterinya, menolong dan menuntun dia pulang ke rumah.
            Sementara Gloria sendiri seperti menghadapi jalan buntu ketika berpisah dari suaminya. Bukan sekedar hambatan finansial untuk membiayai hidupnya dan putrinya, Paige saja, tetapi juga mental dan sekaligus imannya. Ia tergoncang luar dan dalam. Ia mengalami krisis iman. Ia yang biasanya tegar dan ulet untuk menolong suaminya lepas dari narkotika meskipun sering disakiti tiap kali oleh suaminya, akhirnya menyerah juga. Semuanya tampak gelap.
            Justru di saat itulah ia bertemu dengan Jim dan Micah Reeves, sepasang suami isteri anggota salah satu gereja. Dari pertemuan dan pergaulan dengan keluarga ini, Gloria sedikit demi sedikit mengalami kesembuhan dari depresi dan mulai membangun hidup kristen. Ia akhirnya dibaptis. Bagi Gloria, hidup kristen inilah yang menjadi jawabanya yang selama ini dicarinya. Menjadi jawaban atas persoalan-persoalan yang menimpanya.

Kesaksian Hidup
            Cintanya yang meskipun padam kepada B.J Thomas, Gloria merasa perlu menolong suaminya, ayah Paige itu. Ia merasa perlunya memberi pertolongan dan kesaksian hidup kepada suaminya yang berada dalam kegelapan narkotika. Di sinilah muncul kata-kata indah dan menyembuhkan itu' "Ada pertolongan bagimu di sini. Kenapa kau tak pulang ke rumah ?" Kata-kata inilah yang menggerakkan langkah B.J. Thomas bertemu dengan Tuhan baik melalui keluarganya, pertemuannya dengan Jim dan Micah atau membaca Kitab Suci atau penyesalan penyanyi pop itu. Dari situlah mujizat-mujizat kesembuhannya dimulai. Ia menyerahkan kerinduannya dan segala permasalahannya kepada Tuhan. Tuhan Yesus memberi kesembuhan. Ia bisa tidur nyenyak tanpa dihantui oleh ketakutan-ketakutan yang membawa pada narkotika dan akhirnya ketagihan itu. Tuhan Yesus menjawab semuanya.
            Suatu kisah nyata yang menarik dan memancarkan semangat kepada pembaca. Buku ini memang tergolong dalam buku jadul atau lama dalam penerbitannya. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sekitar tahun 1986. Tampilan fisiknya juga sederhana (kertasnya bukan kertas berkualitas sekelas HVS atau luks). Namun, isinya sangat bermanfaat dan sangat berharga. Itulah yang membuat buku ini tampil dalam keaktualannya meskipun buku lama. Bagi pecandu narkotika yang ingin sembuh atau pendamping pecandu narkotika, buku ini tentu mempunyai arti yang khusus.
            Pada akhir kisah ini, B.J. Thomas dan Gloria menceritakan bahwa berkat bantuan Yesus Kristus pula, ia dan isterinya berhasil menghentikan kebiasaan merokok mereka sama sekali, tanpa mengurangi kegiatan merokok itu secara berangsur-angsur. Bulan pertama ketika berhenti merokok itu bagi B.J. Thomas sungguh suatu kesusahan yang berat. Bulan pertama itu, menurutnya, justru diliputi keinginan cepat marah yang tinggi dan kadang disertai pertengkaran.
            Namun, mereka berhasil melaluinya. Ketika ia ingin merokok, justru ini malah mendorong lebih mendekat kepada Kristus. Mengapa ? "Karena aku tahu bahwa aku tidak dapat mengalahkannya dengan kekuatanku sendiri," tegas B.J. Thomas.
Selamat membaca. Semoga ditulari semangat mereka. Tuhan Yesus memang luar biasa...wow gitu lo...keren...

dsw

Minggu, 07 Oktober 2012

Yohanes dari Salib


Data Buku
Judul           : Yohanes dari Salib
Judul asli     : John of the Cross
Penulis        : Wilfrid McGreal
Penerjemah : Mei Setiyanta
Editor Seri   : Peter Vardy
Penerbit  : Kanisius
Tahun     : 2005;  cetakan ke lima
Tebal      : 92 halaman;  14    x    20,5 cm
ISBN     : 979-21-0095-4

"...Inilah yang membimbingku / lebih pasti dari cahaya siang /
ke tempat ia sedang menungguku - ia yang aku kenal begitu akrab/
di sana di sebuah tempat di mana tak seorangpun kelihatan./
O malam yang membimbing !/
O malam yang lebih mempesona dari fajar !/
O malam yang telah menyatukan /
Sang Pengasih dengan kekasihnya,/
mengubah sang kekasih menjadi Sang Pengasih.
(Malam Gelap (The Dark Night), Yohanes dari Salib)


            Roh kecurigaan dan perselisihan, roh kesombongan dan iri hati, ternyata lebih lihai dari yang diperkirakan akal manusia. Tidak pandang di lingkungan profan (duniawi) atau pun religius (biara). Roh itu cerdik menyelinap dan mengelabuhi. Ia ingin membuyarkan setiap rencana Allah yang bekerja dalam usaha dan kehendak baik orang-orang yang dikasihi-Nya. Kalaupun roh itu gagal mengacaukan rencana Allah, ia setidaknya menghambatnya agar manusia dan kemanusiaan sejati terbelenggu dalam dosa terus.
            Gerakan reformasi yang digulirkan Teresa dari Avila dan Yohanes dari Salib di kalangan biara Karmelit, dibuatnya dihukum cambuk dan dipenjara dalam sel tersendiri terlepas dari persaudaran. Roh pemecah belah itu memang berhasil menebarkan jebakannya, tetapi dihadapan Yohanes dari Salib justru di kegelapan malam karena mengikuti jejak Tuhan Yesus Kristus itulah, si penjebak itu menyingkapkan siapa dirinya yang sejati, yakni si pembuat onar, pembinasah manusia sejak awal mula.
            Dalam kegelapan dan kesengsaraan, seperti gurunya Yesus Kristus seperti diwahyukan dalam Kitab Suci, tidak membuat Yohanes dari Salib putus asa, tetapi justru mendapat pengalaman-pengalaman religius yang diungkapkan dalam puisi-puisi indahnya. Ia justru memperoleh rahmat meskipun melewati jalan sempit (dan penuh kesukaran). Tidak berhenti disitu, Yohanes dari Salib ini memberikan kesaksian otentik. Ia mengajarkan jalan itu kepada orang-orang yang ingin mencapai kebersatuan dengan Tuhan. Di sinilah dia menjadi pembimbing yang bisa diteladani di masa kini justru di tengah-tengah banyak guru-guru dan pembimbing rohani palsu. Itulah sosok Juan de Yepes (1540 - 1591) yang dikenal dengan Yohanes dari Salib.
            Bagaimana pengalaman, pemikiran, dan bimbingan Yohanes dari Salib dapat kita pakai untuk mengolah pengalaman-pengalaman kita sendiri untuk kematangan hidup rohani ? Buku Yohanes dari Salib ini memberi tawaran jawaban yang menarik. Buku karya Fr. Wilfrid MvGreal, OCarm ini mengantarkan kita memahami jalan yang dilalui Yohanes dari Salib itu. Pembahasannya ringkas, padat, dan jelas sehingga mudah dipahami dan tentu membangkitkan semangat rohani menuju kesempurnaan, Gunung Karmel, Gunung Kesempurnaan.
            Intinya, cara menuju keakraban dengan Tuhan adalah dengan melepaskan segala sesuatu yang dianggap sangat disenangi dan sangat penting dalam hidup. Sungguh suatu cara yang tidak mudah. Suatu jalan yang sempit. Yohanes dalam The Ascent of the Mount Carmel (Pendakian Gunung Karmel) menunjukkan antitesis 'todo' (segala) dan 'nada' (tiada). "...'nada' atau tiada, merupakan bagian dari sebuah proses mencapai kebebasan pribadi yang mendalam - pelepasan beban yang menghambat perkembangan diri. 'Nada' adalah jalan yang menjadi bagian dari perjalanan yang disebut malam gelap," kata penulis buku Guilt and Healing Fr. Wilfrid McGreal, OCarm ini (h. 55).
            Suatu malam gelap sendiri, menurut Yohanes dari Salib terdiri dua tahap, yaitu 'malam aktif bagi rasa' dan 'malam pasif bagi jiwa'. Perpindahan dari tahap satu ke tahap lainnya adalah perpindahan dari meditasi menuju doa kontemplasi. 'Malam aktif bagi rasa' dimulai oleh seseorang yang ingin lebih dekat dengan Tuhan. Di tahap inilah tahap koreksi atas tingkah laku yang penuh dosa dan kepuasan yang berpusat pada diri pribadi, dilakukan. Sedangkan 'malam pasif bagi jiwa', merupakan tahap akhir berupa pemurnian akhir yang mengarah dengan pengalaman mistis yang mendalam. Di sinilah butuh kesabaran karena berlangsung dengan lambat. Seseorang merasa tak berdaya, hancur, dan segala sesuatu tampak gelap seakan-akan Tuhan telah mengabaikannya.
            Dua tahap itu sebenarnya, menurut Wilfrid McGreal, bukanlah suatu kemutlakan karena setiap pribadi itu unik. Dan, lagi, tindakan Tuhan dalam hidup kita sifatnya bebas, tidak bisa ditentukan, dianalisa, apalagi diprediksi.

Modern

            Dunia modern saat kini dipenuhi dengan ketidakpastian. Yang transenden pun tidak menjadi perhatian. Kehidupan rohani pun dibiarkan kering, lalu layu, dan akhirnya mati. Hubungan dengan Tuhan retak bahkan penuh dengan penolakan manusia sendiri. Demikian juga dengan hubungan dengan sesama. Egoisme berkembang seperti jamur di musim hujan. Manusia terobsesi dengan dirinya sendiri. Hiruk pikuk konsumerisme di sana sini menjadi semangat pribadi, tetapi tidak mempunyai perasaan terhadap dunia dan tidak memiliki tanggungjawab sosial. Lantas, dalam situasi demikian, apakah kita bisa mendengar Yohanes dari Salib ?
            Sangat bisa, jawabannya. "Dia adalah seorang guru yang membawa pesan kebebasan, kebebasan yang memungkinkan kita menjadi sadar akan diri dan pribadi kita sepenuhnya," tegas Wilfrid McGreal. Justru, dalam kondisi dewasa kini, Yohanes dari Salib menantang pembacanya. Ajarannya, justru tentang hal-hal yang mendasar yang sering diabaikan manusia dewasa kini.
            Membaca buku ini, tidak saja membangkitkan semangat kerohanian dan menyegarkan, tetapi lebih jauh melihat diri dan menggugatnya, ketika jiwa terbelenggu dalam arus zaman. Mungkin hal itu tidak mengenakkan dan tidak memuaskan keinginan kita untuk selalu dihibur dan dibuai sampai mati. Kalaupun boleh dikatakan sebagai satu-satunya hiburan ketika kita mengalami kegelapan adalah Salib Tuhan Yesus. Seperti Yohanes dari Salib mengikuti jejak Yesus Kristus, mengikuti salib-Nya. Lantas, kita tidak sendirian lagi.
            Buku ini pada akhir babnya disandingkan dengan pendekatan psikologi kontemporer berkaitan dengan bimbingan rohani. Ini penting karena orang yang ingin mencapai kematangan rohani, membutuhkan bimbingan rohani dengan pembimbingan rohani yang tidak hanya sekedar bijaksana dan cermat, tetapi juga berpengalaman. Selamat membaca dan dibimbing Yohanes dari Salib...

Daniel Setyo Wibowo

Go Ask Alice


Data Buku

Judul          : Go Ask Alice. Buku Harian Seorang Remaja Pecandu Narkoba
Judul asli    : Go Ask Alice. (Judul diambil dari White Rabbit  yang ditulis Grace Slick)
Penulis       : Anonim
Penerjemah : Sabine
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun   : 2005 (cetakan keempat)
Tebal    : 187 halaman;  13,5  x  20 cm
ISBN     : 979-22-0840-2





Rapuh.....!
            Kata itulah yang mungkin tepat menggambarkan kita yang ditulis  oleh seorang remaja berusia limabelas tahun (anonim) dalam buku hariannya (diary) yang kebetulan menghadapi masalah berat kecanduan narkoba dan seks bebas. Buku harian  itu kemudian diterbitkan dengan judul Go Ask Alice.
            Sifat manusia kita yang rapuhlah yang membuat kita merasakan bersama dan memahami apa yang dialami penulisnya dan berempati kepadanya. Kita sebenarnya juga rapuh seperti gadis remaja ini. Kita seakan mengalami bersama seperti pengalaman kesenangan, kesepian, kesendirian, menangis, kadang-kadang putus asa, berkali-kali usaha tetapi jatuh lagi. Dan, bahkan menutup buku ini kita merasa kehilangan mendengar bahwa remaja itu meninggal karena overdosis. Selamat jalan kawan....Kami menitikkan air mata.
            Remaja putri berumur 15 tahun ini seperti halnya remaja lainnya dan tentunya kita juga (yang kadang merasa sok mempunyai kondisi psikologis yang stabil dari pada si pecandu remaja, padahal kita juga rapuh) berawal dari masalah-masalah seperti asmara, pelajaran sekolah, omelan orang tua, kegemukan, pencarian jati diri, rendah diri, kebosanan (siapa yang tidak mempunyai masalah-masalah seperti itu ?) akhirnya terjaring oleh jaringan narkotika. Awalnya melalui teman-temannya yang mengajak pesta dan sekedar meminum 'coke' yang sudah diberi LSD (lysergic acid diethylamide) di rumah pecandu seperti Jill pada 10 Juli.
            Pengalaman itu mengasyikkannya dan seakan-akan ia bisa melepaskan semua kepenatan dan kebosanannya yang dialaminya. Sejak itulah, dia memandang dunia narkoba secara berbeda. Dunia narkotika penuh keindahan, mengasyikkan, menggairahkan, kenyamanan, merasa hebat, luar biasa, merasa menemukan jati diri, dan sebagainya. Ini sangat berlawanan dengan pandangan yang dipegangnya selama ini baik dikatakan orang tua, anjuran-anjuran, pelajaran sekolah dan sebagainya yang menyebutkan bahwa dunia narkoba adalah dunia yang menyeramkan.

Kebingungan 
           Dari sinilah muncul kebingungan-kebingungan, keresahan-keresahan, ketakutan-ketakutan, bahkan kebohongan-kebohongan. Ia membenci teman-temannya yang membuat dirinya kecanduan dan narkoba yang dikonsumsi dan ingin menjadi anak 'baik-baik', tetapi ia tidak bisa membendung keinginan kuat untuk mengkonsumsi segala bentuk narkotika karena mempunyai dampak yang luar biasa, mengasyikkan. Terhadap kebingungan dan keresahannya itu, ia pendam sendiri dan berusaha dicurahkan dengan dirinya lewat diary, sahabatnya yang dianggap penuh pengertian, penuh empati, selalu memafkan, selalu bersabar, bersahabat, tidak pernah mengomel, dan kualitas-kualitas positif lainnya. Suatu dialog diri yang menganggap “sahabat diary”-nya ini lebih sempurna. Suatu bentuk - meminjam istilah Jean-Paul Sartre - transendensi ego. Ia tidak berani jujur terbuka dengan orang tuanya yang sangat mengasihinya.
            Keresahan itu semakin meningkat ketika ia melakukan hubungan seksual pertama kalinya dengan teman telernya karena mengkonsumsi narkotik, Bill yang sebenarnya tidak disukainya tetapi karena ia merasa bernafsu setelah teler. Keresahannya memuncak ketika Roger, orang yang dicintainya mengunjunginya. Ia tidak mau menemuinya karena merasa diri sangat bersalah dan kotor. Sejak itu, ia berusaha berhenti mengkonsumsi narkotika. Dan, ia merasa lega saat ia mengalami menstruasi. Suatu tanda bahwa ia tidak hamil akibat hubungan seks itu. "Hari yang luar biasa, indah, dan membahagiakan. Akhirnya aku datang bulan ! Belum pernah aku sebahagia ini dalam hidupku. Sekarang aku tidak butuh pil-pil tidur dan obat-obat penenang lagi. Aku bisa kembali menjadi diriku sendiri. Oh, wow !" katanya (hal. 43).
            Merasa bisa berhenti kapan ia mau (seperti kita yang juga merasa selalu bisa kapan kita mau, bukan ?) tetapi akhirnya jatuh lagi ketika mengenal Chris yang memberi permen kecil yang membangkitkan semangat. Lalu mendapat pekerjaan bersama Chris setiap Kamis dan Jumat malam. Dan, untuk menjaga berat badannya ia menelan Beny (Benzedrin / amfetamin sulfat). Ia memang sangat takut terhadap kegemukan. Ia juga mulai mencoba mengisap ganja sepulang kerja bersama teman-teman Chris, yaitu Ted dan Richie dengan pipa hookah (bong). Pertemanan teler itu justru membuat ia lebih dalam terlibat dalam narkotika baik sebagai pemakai maupun pengedar kepada anak-anak SD. Ted adalah pacar Chris dan Richie akhirnya menjadi pacarnnya yang justru memanfaatkannya dan Chris menjadi pengedar. Bersama Richie, ia berpetualang berbagai macam narkoba dan petualangan sex sambil teler. Bahkan, ia merasa jatuh cinta dan tergila-gila kepada Richie sehingga ia mau melakukan apa saja demi Richie sampai akhirnya ketahuan kalau Richie dan Ted ternyata homoseksual ketika dipergokinya mereka sambil teler bercinta.
            Kedua cewek remaja itu, ia dan Chris, merasa terpukul dengan kejadian itu hingga memutuskan melaporkan Riche ke polisi sebagai pengedar dan minggat ke San Francisco, drop out dari sekolah dan meninggalkan keluarganya begitu saja. Ia takut pada Richie dan Ted serta teman-teman mereka sehingga minggat sambil melupakan masa lalunya sebagai pecandu. Setiba di San Francisco mereka mendapat pekerjaan di toko pakaian milik Shelia yang tiap malam mengadakan pesta dan menawarkan berbagai macam narkotika. Mereka berdua ikut diundang dan tidak tahan dengan bau ganja dan mulai mengkonsumsi narkotika lagi. Setiap malam ia selalu menginap di rumah Shelia hingga suatu saat Rod "pacar baru" Shelia memberinya heroin dan Speed (metamfetamin, kokain) kepada mereka  dan ternyata Rod dan Shelia memperkosa mereka berdua secara sadis dan brutal. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari pekerjaan dan meninggalkan dunia kacau itu dan mulai membuka butik kecil-kecilan. Ia mulai kangen dengan keluarganya dan meneleponnya yang disambut hangat oleh keluarganya.
            Kedua remaja ini lantas pulang dan disambut dengan kasih. Mereka ingin menutup lembar kelam pengalaman pahit sebagai pecandu. Ia ingin berhenti mengkonsumsi narkoba dan mulai hidup baru. Berbagai cobaan untuk masuk dunia narkotika melalui teman-teman pecandunya mulai meresahkanya. Kadang ia menang dan berhasil mengatasi godaan itu dengan bantuan kasih orang tuanya Dad dan Mom serta adik-adiknya Tim dan Alex. Meskipun orang tuanya tidak mengetahui bahwa dirinya kecanduan karena ia tidak cerita jujur. Di lain kesempatan, ia jatuh kembali. "Selama ini aku membohongi diriku, menganggap aku bisa memakai dan berhenti begitu saja....Kalau sudah pernah merasakan, hidup tanpa obat bius bukan lagi hidup namanya, melainkan eksistensi yang hambar, tanpa warna, kosong hampa...." (hal. 83 - 84).
            Pada akhirnya, orang tuanya mengetahui berkat suatu kasus dan dirinya mendapat hukuman percobaan dan setelahnya Dad dan Mom mengawasinya secara ekstra ketat. Kemana-mana diawasi. Berhasilkah ia berhenti menjadi pecandu setelah semuanya ? Ia tidak tahan lagi diawasi terus. Ia justru minggat dengan menumpang sembarangan pada kendaraan-kendaraan yang lewat yang kadang memanfaatkan mereka agar melakukan hubungan sex dengan mereka dan memilih teler di jalanan  di Oregon, Coos Bay, dan tidur di  taman. Akhirnya, ia memperoleh bantuan dari gereja seperlunya dan bertemu dengan Doris yang juga pecandu dan kemudian tinggal bersamanya karena Doris mempunyai persediaan ganja untuk dua minggu. Doris sendiri berumur 11 tahun sudah digauli ayah tirinya dan akhirnya menjadi pecandu. Dalam kisah minggatnya dan reli itu, mereka berdua mau berbuat apa saja, yaitu menjadi penjaja seks dengan siapa saja, termasuk oral dengan polisi asal memperoleh narkotika. Akhirnya, dengan bantuan pendeta yang mengerti anak-anak muda, ia kembali ke keluarganya yang tetap menerimanya dengan penuh kasih.

Tetapkan niat
            Di rumah, ia berhasil menetapkan niatnya bahwa ia ingin membangun hidupnya kembali dan ingin membantu teman-temannya yang mempunyai masalah yang sama. Ia sudah bisa menentukan sasaran apa yang harus dijalani dan diraih dalam hidup ini. Ia ingin menekuni bidang konseling. Dengan dukungan Dad dan Mom serta adik-adiknya Tim dan Alex serta kakek neneknya Gran dan Gramps, ia kuat kembali. Ia mempunyai tujuan hidup. Teman-temannya di sekolah yang menjadi pecandu terus menggoda agar dirinya kembali ke dunia mereka lagi. Ia bisa tahan meskipun diliputi keresahan di sana sini. Bahkan dia diancam dan dipaksa, dia tetap tahan.
            Selain keluarganya yang mendukungnya, ia kenal dengan mahasiswa ayahnya di universitas tempat ayahnya mengajar, Joel namanya. Joel mendukung dan menyemangati dirinya karena menyayangi dirinya. Iapun menyayangi Joel dan berharap menjadi suaminya kelak.
            Kemenangan diperoleh ketika ia dicobai oleh Jan yang memfitnah dengan tuntutan memakai sekaligus mengedarkan dan menyakiti bayi Mrs Larsen. Iapun dinyatakan bersalah dan ditempatkan untuk rehabilitasi di Youth Center. Pada waktu kejadian ia jujur mengatakan kepada ibunya, dan ibunya membenarkan tindakannya. Dalam kondisi dihukum itu, keluarganya dan Joel dengan surat-suratnya tetap mendukungnya. Dad memaksa Jan dan Marcie mencabut tuntutannya.
            Akhirnya, ia keluar dari Youth Center yang masih lebih baik dari pada ditempatkan di DT (Detention School, sekolah tahanan).
            Di rumah, kasih keluarganya dan dukungan Joel betul-betul membuatnya nyaman. Ia bahagia dengan kejutan-kejutan yang diberikan Dad, Mom, Tim, Alex, dan Joel. Namun, setelah tiga minggu ia memutuskan tidak menulis di buku harian lain, ia meninggal karena overdosis. Tidak ada keterangan apapun mengapa.
            Sungguh suatu kisah yang menyentak. Usaha menulis buku harian untuk bertemu dan berkawan dengan diri mampu membuat ia bertahan terhadap absurdnya dunia. Ternyata, bertemu dengan diri,  kemanusiaan itu rapuh, lemah, keropos. Berkat tulisannya di buku hariannya yang diterbitkan ini, kita memahami manusia itu memang rapuh. Selain membutuhkan dukungan orang lain (keluarga) ia membutuhkan kekuatan ilahi. Dunia narkoba memang dunia kegelapan. Kita membutuhkan terang jika kita berada di dalamnya.
            Buku ini sangat bagus bukan buat para remaja saja, tetapi para guru, orang tua, pendamping remaja, dan siapa saja yang mempunyai perhatian bukan saja terhadap masalah narkoba, tetapi dunia remaja pada umumnya.
            Dengan membaca buku ini, kita tidak saja memahami seperti apa jiwa remaja, tetapi juga betapa jahat dan cerdiknya narkoba itu. Ia mempergunakan sisi kelemahan manusia dan masuk mengobrak-abrik semuanya. Ia tahu sisi yang paling lemah dari manusia. Dia tidak pandang bulu menyerang bukan hanya remaja bahkan orang dewasa, tetapi juga anak-anak SD.
            Tanpa memahami semua itu dan perhatian tulus, maka sulit untuk "memerangi" narkoba dan bersahabat dengan remaja yang memang membutuhkan 'bimbingan' dan teladan.
            Kiranya, buku ini bermanfaat besar sekali dan perlu disambut hangat. Selamat membaca.

Daniel Setyo Wibowo