Sabtu, 19 November 2016

Amarah



  Data Buku
  
Judul                : Amarah Satu
Judul Asli          : The Grapes of Wrath
Penulis             : John Steinbeck
Penerjemah       : Sapardi Djoko Damono
Pengantar         : Sapardi Djoko Damono
Penerbit            : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Tahun               : 2000
Tebal                : xvi  +  398 halaman; 21 cm
ISBN                : 979-461-330-4 (jilid lengkap)

  
  

         Apa salahnya menyusui tua bangka yang sekarat agar bisa tetap hidup dari teteknya sendiri sementara bayinya sendiri yang baru saja lahir ternyata mati ? Dunia ini memang terbalik-balik ! Mungkin demi  kebaikan dalam keterpaksaan dan ketakberdayaan ? Tidak pernah terpikirkan apalagi terbayangkan. Tapi, John Steinbeck dengan cerdasnya membawa kita pada dunia yang semacam itu. Dan, apa jawabannya ? "Kau harus," katanya. Ia menggeliat lebih dekat dan menarik kepala laki-laki itu di dekatnya. "Nah !" katanya. "Di situ." Tangannya bergerak ke belakang kepalanya dan menopangnya. Jari-jarinya bergerak dengan lembut pada rambutnya. Ia melihat ke atas, ke seputar gudang itu, dan bibirnya merapat dan tersenyum dengan misterius (hal. 396).
            Bagaimana bisa dipahami tanaman anggur harus dihancurkan atau jutaan jeruk harus dibuang. Kentang, jagung, kopi harus dibuang atau dibakar untuk semata-mata menjaga dan menaikkan harga, sementara orang-orang di sekelilingnya kelaparan ? Pemenang Nobel di bidang sastra ini menjawabnya, "...dan dalam mata orang yang kelaparan ada amarah yang semakin besar. Di dalam jiwa orang-orang itu anggur kemurkaan sedang tumbuh dan semakin hebat, semakin berat untuk dipanen." (hal. 233).
            Bagaimana dapat dipahami ketika ada pekerjaan untuk satu orang, ratusan lainnya memperebutkan - berebut dengan upah serendah-rendahnya ? Upah semakin rendah, tetapi harga-harga tetap tinggi atau semakin tinggi ? Semakin banyak pencari kerja, semakin rendah upahnya. Buku yang sempat memenangkan Hadiah Pulitzer ini menjawabnya.
            "Perusahaan-perusahaan besar tidak mengetahui bahwa batas antara rasa lapar dan amarah adalah garis tipis. Dan uang yang seharusnya menjadi upah mengalir untuk bensin, senjata, untuk agen dan spion, untuk daftar hitam, untuk latihan. Di atas jalan-jalan raya orang bergerak seperti semut dan mencari pekerjaan, demi sesuap makanan. Dan, kemarahan itu mulai meragi." (hal. 130)
            Dengan menampilkan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban seperti di atas, buku berjudul Amarah kiranya membawa pembacanya pada jatuhnya martabat manusia sampai di titik nadir. Bagaimana kalau sudah sampai taraf itu ? Masa depan bahkan masa kinipun kabur. Tiada pengharapan lagi. Dan, bagaimana kalau pengharapan sudah tidak ada lagi ? Batas antara yang boleh dan tidak, baik dan buruk, yang kuat dan yang lemah, yang suci dan profan, yang tua renta dan bayi, tidak ada lagi. Di titik paling rendah itulah, martabat kemanusiaan, keilahian manusia, sudah tak berharga lagi.

Diawali Kisah
            Amarah diawali dengan kisah kembalinya Tom Joad dari penjara karena membunuh orang. Ia dilepas dalam masa percobaan karena kelakuannya yang baik. Di luar pun keadaannya lebih berat dibanding di penjara. Ia menemukan rumah dan tanah keluarganya hancur berantakan digusur traktor, kepanjangan tangan kekuatan abstrak yang dilembagakan sebagai bank. Keluarganya berantakan harus mengungsi ke tetangganya yang masih tersisa. Di sinilah ia bertemu Casy, yang meninggalkan kependetaanyan dan yang tidak yakin akan pengharapan.
            Tanah adalah satu-satunya penghidupan turun temurun keluarga Joad. Mereka adalah petani di daerah tandus di Oklahoma. Karena itu, mereka disebut "Okies". Tapi, tanah mereka sekarang bukan tanah milik mereka lagi. Memang ada Al yang ingin meninggalkan pertanian dan belajar ke industri, yaitu jadi montir, tetapi pekerjaan yang tersedia dan itupun diperebutkan banyak orang hanyalah buruh petik buah atau kapas.
            Sampai di sini, masih ada harapan, yaitu pergi ke Barat, yaitu California seperti dilakukan banyak petani tuna tanah dari Oklahoma. California seperti menjanjikan tanah terjanji bagi petani-petani itu, termasuk keluarga Joad, kecuali kakek dan nenek yang mati dalam perjalanan yang tidak rela  meninggalkan bekas rumah dan tanahnya. Selebaran-selebaran akan pekerjaan sebagai buruh pemetik buah-buahan, bertebaran. Para petani tuna tanah pun berbondong-bondong walau tanpa kepastian.
            Perjalanan dari Oklahoma ke California begitu jauh sehingga perlu persiapan matang, termasuk menyiapkan dananya, apalagi membawa anak-anak, kakek-nenek, ayah-ibu, saudara-saudara, dan Casy. Dana mereka sangat minim. Dan, dengan ketergesaan mereka menjual apa yang masih bisa dijual meski dengan harga yang sangat murah. Demi suatu harapan.
            Kendaraan yang dibeli itupun barang rongsokan yang tidak tahu bisa mengantar sampai ke tempat tujuan atau tidak. Dengan tekad yang kuat memperbaiki hidup, mereka berangkat. Mereka berpikiran kalau pekerjaan mudah didapat sehingga cita-cita mempunyai rumah mungil yang berlantai semakin memotivasi mereka dalam menempuh perjalanan.
            Mereka tidak kehilangan harapan ketika mereka mendengar beberapa petani senasib seperti mereka memberi pengalaman buruk mereka ketika berada di sungai. Bahkan, harapan itu semakin membubung  tinggi ketika mereka berada di suatu puncak pada dini hari dan melihat tanah terjanji California yang penuh dengan kebun buah-buahan. Begitu indah dari kejauhan.
            California yang indah dari kejauhan, ternyata menyimpan kepahitan-kepahitan dan air mata seperti dialami keluarga Joad. Semakin didekati, semakin pahit, kasar, dan tak manusiawi. Tanah baru itu tidak membutuhkan mereka, kecuali tenaga yang dibayar murah. Makan saja susah meskipun banyak kentang dan buah-buahan yang dibuang oleh perusahaan-perusahaan pertanian itu. Pemogokan kerja tidak memberi pengaruh berarti karena begitu mogok, ribuan orang berdatangan untuk mencari pekerjaan. Atau pemimpin yang melakukan pemogokan dibunuh oleh orang-orang suruhan perusahaan seperti terjadi pada kasus Casy. Dan, Tom terpaksa melarikan diri karena membela Casy.
            Kepahitan dan kepedihan seakan bertubi-tubi menyerang keluarga Joad dan para petani tuna tanah itu. Kepedihan satu belum pergi, kepahitan lain yang lebih ganas sudah berdatangan seperti air bah. Air bah itu datang tiba-tiba meskipun sang ayah sudah berusaha membuat tanggul. Rose of Sharon yang dipanggil Rosasharn, anak dari keluarga Joad terpaksa melahirkan dalam kondisi air bah dan menolong orang tua renta yang mau mati karena kekurangan gizi. Rosasharn akhirnya merelakan menyusui si lelaki tua renta itu. Bibirnya merapat dengan tersenyum penuh misterius.

Memasyarakat

            Dalam pengantarnya, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa novel ini merupakan salah satu buku yang paling memasyarakat di negerinya. Padahal, pengarangnya seorang penyendiri. Dikatakan pula, sejak diterbitkan pada 14 April 1939 dalam jangka waktu dua bulan sudah ada sekitar 90 ulasan dan timbangan buku di pelbagai media massa dan jurnal. Bahkan, menjadi buku 'best seller'.
            Buku ini tidak hanya memasyarakat, tetapi sempat memenangkan Hadiah Pulitzer, hadiah sastra paling bergengsi di Amerika dan pada tahun 1962 menjadi bahan pertimbangan utama dalam pemberian Hadiah Nobel bagi John Steinbek. Karya ini sudah diterjemahkan ke dalam sekitar 30 bahasa.

Membosankan

            Ketika mulai membaca sastra ini, tidak terkesan apa-apa. Tampaknya datar. Dialogpun monoton. Bahan yang digarap pun tampak lokal dan temporal. Tentu, ini sulit dipahami orang Indonesia atau setidaknya di luar Amerika, khususnya Oklahoma dan California. Konsep hidup yang ditawarkan juga tidak terlalu mengesankan. Biasa-biasa saja. Membaca setengah saja, rasanya ingin cepat-cepat menutup. Apa yang ingin disampaikan juga rasanya belum begitu jelas. Membosankan.
            Namun, kalau kita agak bersabar sedikit dan menyelesaikannya sampai akhir, kita akan tercengang. Dan inilah yang kemudian muncul keinginan untuk membaca ulang bukan dengan rasa kebosanan lagi.
            Dan apa yang membuat tercengang ? Perendahan nilai-nilai martabat manusia sampai serendah-rendahnya tanpa ada pengharapan lagi. Bukankah kondisi keluarga Joad monoton, membosankan, dan ingin-ingin cepat-cepat menyelesaikan takdir mereka ?
            Ternyata cerita dibangun dengan pesan tersebut sampai sedetailnya sehingga terkesan realistik dan naturalistik. Awalnya, perendahan martabat petani yang dilepaskan secara paksa dari tanahnya. Masih bertahan karena ada harapan di California. Sampai akhirnya tidak ada jalan keluar lagi. Tidak ada pengharapan lagi.
            "Having taken God like power, we must seek in ourselves for responsibility and the wisdom we once prayed some deity might have," tutur John Steinbeck dalam Acceptance Speech Nobel Lectures, Literature, 1962. Sungguh suatu isi dan bentuk cerita yang padu. Selamat membaca...

Daniel Setyo Wibowo

Minggu, 13 November 2016

Dahulu Kita Yang Munafik Atau Kita Sekarang Yang Munafik ?



Data Buku

Judul    : Rakyat dan Negara

Penulis : Onghokham

Penerbit: Penerbit Sinar Harapan bekerjasama dengan LP3ES

Tahun   : 1983 (cetakan pertama)

Tebal    : 182 halaman


"Lewat sejarah bisa mengenal dan memahami hubungan timbul balik antara masyarakat dan negara" Onghokham.

            Demikian kata sejarawan yang gemar dengan dongeng, Onghokham almarhum. Seorang hedonis makanan dan minuman (wine) sekaligus seorang 'gourmet'  (ahli dalam mencicipi / menilai makanan) dan antipati terhadap rokok atau kegiatan merokok.
            Lewat bukunya Rakyat dan Negara yang sebenarnya berupa kumpulan artikel yang pernah diterbitkan di majalah Prisma, Horison, dan buku terbitan LIPI Masalah-masalah Internasional Masa Kini. Buku ini sendiri sudah terbit 29 tahun yang lalu. Boleh jadi orang mengatakan sudah tidak 'up to date' atau daluwarsa. Tapi, ketika kita membacanya tidak terkesan ketinggalan zaman. Justru sebaliknya yang terjadi meskipun banyak pemikiran dan peristiwa hingga 2012 ini, kita diajak mengenal lebih dalam tentang orang Indonesia dan keindonesiaan. Lewat sejarah, kita bisa mengenal dan memahami hubungan timbal balik antara masyarkat dan negara, kata Onghokham.
            Tidak hanya itu, lewat sejarah kita mengenal diri kita melalui refleksi-refleksinya. Sejarah bukan sekedar menyajikan fakta-fakta (meskipun sering dipakai penguasa sebagai 'pembenaran' dan legitimasi pemerintah sehingga tidak jarang penulisan sejarah yang dibelak-belokkan) Ia bisa menjadi sarana yang efektif dalam pemahaman diri. Bagaimana ini bisa terjadi ?
            Lewat delapan artikel dalam buku ini, Onghokham menguakkan siapa diri kita, siapa orang Indonesia, apa itu keindonesiaan. Artikel pertama, langsung menusuk jantung masalah identitas kita, berjudul Sukarno : Mitos dan Realitas. Di awal-awal tulisan ini, Onghokham menggugat identitas kita. "Persoalannya kini bukan saja 'Siapakah Sukarno', tetapi juga 'siapa sebenarnya kita dahulu dan siapa kita sekarang' ? Apa dahulu kita yang munafik atau sekarang kita munafik ?", tegasnya.
            Dengan pendekatan historis terhadap Sukarno, Onghokham menemukan bahwa Sukarno dan perjuangannya terhadap 'marhaen' (entrepreuneur kecil) berhadapan dengan "Establishment' ternyata berdiri sendirian, tidak dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuangan yang sebanding. Tidak Hatta, tidak juga Syahrir. Ia hanya memiliki sekutu-sekutu, fraksi-fraksi, teman atau pengikut, dan para pengagum, tetapi bukan partner. Di akhir karir politiknya pun, ia berdiri lagi. Tapi, lagi-lagi sendirian. Ia ingin mencoba memberi arah pada jalannya revolusi, tetapi lagi-lagi sendirian. Ia berdiri sendirian di tengah-tengah arus umum yang menentangnya.

Refleksi Seorang Peranakan

            Artikel kedua berjudul Refleksi Seorang Peranakan Mengenai Sejarah Cina-Jawa, tidak sekedar menelaah bagaimana proses adaptasi para pendatang Cina, dan sekaligus pembauran Cina-Jawa dengan para pangeran Jawa, penduduk maupun VOC / Hindia Belanda. Terkadang proses itu meninggalkan trauma-trauma, misalnya pembantaian orang-orang Cina pada tahun 1740 oleh Belanda, dan sebagainya.
            Onghokham melukiskan bahwa pada umumnya ketidaktentraman situasi Indonesia setelah penjajahan telah lebih memperenggangkan ikatan masyarakat peranakan dari pada membantu menempa solidaritas etniknya. Sementara warisan kolonial tambah menimbulkan tanggapan tertentu. Semua ini memberi pesan pada pemuda Cina untuk mempersiapkan dirinya berdiri atas kaki sendiri. Warisan yang sama ini mengasingkan masyarakat peranakan dari politik Indonesia dari masalah-masalah sosialnya. Perjuangan untuk kelangsungan hidup pribadi sebaliknya lebih mendominasi orang-orang Cina dari permulaan abad ke-19.
            Berbeda dengan orang-orang Cina, nasib rakyat Jelata (wong cilik) pada umumnya lebih buruk lagi berhadapan bukan hanya dengan VOC / Hindia Belanda, tetapi dengan para penguasa lokal. Sistem pajak yang mencekik mempermiskin pada 'sikep' (pemilik tanah) dengan 'pancasan' (pengurangan milik). Feodalisme sangat kuat; munculnya golongan perantara (tussenpersonen), 'palang', dan banyaknya manipulasi oleh penguasa-penguasa setempat. Lalu, apa yang dikembangkan adalah konsep ratu adil, suatu ideologi anti-negara yang tidak ada kaitannya dengan anti kolonialisme ataupun nasionalisme. "Seringnya pemberontakan-pemberontakan dan popularitas konsep Ratu Adil menunjukkan adanya persoalan-persoalan fundamental dalam hubungan negara kolonial dan rakyat. Konsepsi Ratu Adil sendiri tentunya hanyalah suatu ilusi yang memuaskan perasaan-perasaan untuk bernegara, asal saja rajanya hanya dalam impian," tegas Onghokham.
            Lalu bagaimana dengan karakter para pembesar di Indonesia ? Dalam tulisannya Sejarah Pembesar di Indonesia, Onghokham menganalisis dan merefleksikan munculnya mesin birokrasi 'Beambtenstaat' (negara kepegawaian) yang tidak terlepas juga dari mental hubungan-hubungan pribadi, sistem feodal aparatur raja yang meliputi para priyayi dan orang kaya.
            Pihak VOC bisa memanfatkan struktur feodalisme tersebut untuk kepentingan Tanam Paksa, sistem perkebunan kolonial dengan misalnya persen-persen Tanam Paksa (Kultur prcenten). Semua ini bisa terjadi karena munculnya kekuatan VOC di Jawa bukanlah karena kemenangan-kemenangan militer (penundukan dan pendudukan militer), tetapi karena perjanjian-perjanjian dengan keraton atau penguasa-penguasa daerah seperti bupati-bupati pesisir dan Priangan. Jadi, dengan kinclongnya bandul kalung emas yang mengkilap saja, penguasa-penguasa kita (patron-patron) akan 'ngiler' dan membuat perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat. Terintegrasinya penguasa-penguasa Indonesia baik yang bersifat lokal (bupati) atau pusat (keraton) dengan kekuasaan Belanda inilah yang menjadi bibit-bibit karakter pembesar kita.

Idealisme dan Emosi

            Bagaimana dengan para pemuda (yang sekarang dimaknai secara sempit sebagai mahasiswa yang secara klise dikatakan agen perubahan), Onghokham menilai munculnya kekuatan pemuda bukanlah khusus Indonesia, seperti munculnya "Gerakan 4 Mei" di  Cina. Apa yang menjadi ciri khas pemuda adalah idealismenya. Inilah faktor yang menyebabkan mereke bergerak. "Emosi-emosi yang besar ini justru menjadikan mereka sebagai umpan peluru yang paling cocok dalam suatu revolusi. Khususnya bila idealisme dan emosi ini tidak didukung oleh pengetahuan yang luas dan hanya berorientasi pada aksi tanpa mencoba menjawab apa kedudukan dan fungsi mereka, dan sampai tingkat mana perkembangan sejarah negara ini berada," kritik Onghokham.
            Terhadap kondisi sosial di Indonesia, pemuda memang berhak dan seharusnya prihatin. Namun, kata Onghokham, energi ini sebaiknya diarahkan untuk mengetahui persoalan-persoalan seperti generasi-generasi yang sebelumnya, yaitu para tokoh pergerakan nasional dan  kemerdekaan Indonesia (Kenapa tidak angkatan 66, Onghokham menilai pada umumnya angkatan ini mempunyai karakteristik yang sangat individualistik) "Harus diingat bahwa umur belajar itu singkat dan harus dipergunakan seluruhnya. Suram sekali kelihatnya nasib bangsa di kemudian hari bila pemuda hanya menjadi umpan peluru serta sekadar bebas dari buta huruf." tegas Onghokham.
            Refleksi sejarah untuk mengenal diri sehingga memahami hubungan negara dan masyarakat, dapat pula diarahkan pada seni dan sisi historis. Onghokham juga membuat suatu refleksi yang menarik berjudul Proses Kesenian Indonesia Dari Masa ke Masa. Apa yang menyolok perkembangan seni ini adalah sifat komersialnya. Dengan berkesenian, bukan hanya sekedar ekspresi diri, tetapi juga dapat keuntungan. Dan, tentunya bisa hidup dari kesenian itu. Komersialisasi kesenian tidak perlu dipandang negatif, tetapi justru positif. Ini memungkinkan perkembangan kesenian secara individual dan bahkan melepaskan diri dari tradisi dan juga dari patron-patron tradisionalnya. Dengan demikian kesenian Indonesia (dan senimannya) terkait dengan perkembangan kesenian dunia.
            Terlepas dari perkembangan itu, Onghokham mengingatkan tentang hubungan antara seni dan masyarakatnya. Seniman bukan semata-mata seorang pencipta seni, melainkan juga mengungkapkan apa yang hidup dalam masyarakatnya dan menyajikannya dalam lukisan-lukisan atau pementasan-pementasan. Seniman perlu berfungsi sebagai cendekiawan dalam masyarakat seperti halnya para penulis, akademisi, dan lain sebagainya.
            Buku ini menarik dibaca karena di samping pengetahuan penulisnya yang luar biasa luas dengan analisanya yang imajinatif dan cermat ini, juga orisinalitas yang mencengangkan. Tidak jarang membaca buku ini kita tertampar, tetapi kita tidak segera menutup buku. Ini bukan karena gejala masokis yang senang disakiti karena merasa nikmat. Proses melihat diri, mengenal diri, refleksi diri memang tidak jarang melalui proses yang pahit dan sakit. Kita tetap meneruskan karena ada harapan di akhir nanti ada kebahagiaan dan bahkan penuh kebahagiaan.
            Ini lebih berharga ketimbang membaca buku yang menyanjung-sanjung kita, tidak peduli menebar kebohongan dan memanipulasi serta rekayasa fakta, sehingga kita terbuai dan lupa asal usul dan jati diri kita. Dan, pada akhirnya, kita jatuh ke jurang dan anehnya merasa itu pilihan kita sendiri.
            Pada akhirnya, tamparan keras Onghokham ini akan bermanfaat bagi kita, bila kita mengolahnya juga. Tapi, hanya berupa tamparan belaka (dan sakit) bila kita tidak mengolahnya juga. Jadi,....selamat membaca (kembali) dan mengolahnya.

Daniel Setyo Wibowo