Data
Buku
Judul :
Harimau ! Harimau !
Penulis :
Mochtar Lubis
Desain sampul : Ipong Purnama Sidhi
Penerbit :
Yayasan Obor Indonesia
Tahun :
1992 (edisi ke-6 2003)
Tebal :
vi +
214 halaman; 17 cm
ISBN :
979-461-109-3
“Mulai kini, diam-diamlah kita semua,”
katanya berbisik, “Jangan merokok, jangan batuk, dan jangan ribut sedikitpun
juga. Mari kita makan dulu.”
Dalam
menghadapi bahaya dan ancaman besar untuk mempertahankan hidup, bagaimana
seseorang baik sebagai pribadi maupun dalam kelompok bersikap dan bertindak
akan sangat tergantung pada watak, kesadaran, keteguhan, kepercayaan. Lantas,
bagaimana dengan citra diri, kekuasaan, dan apa yang diwakili oleh senjata,
jimat-jimat, pelajaran dan mantra palsu ? Mungkin, awalnya orang akan tunduk,
tetapi pada akhirnya tingkat keteguhan hati, keberanian, kewaspadaan,
kepercayaan, kesabaran (menunggu) yang menentukan hidu-matinya seseorang atau
kelompok.
Novel
karya Mochtar Lubis berjudul Harimau !
Harimau ! membawa kita pada kondisi terancam, menghadapi harimau yang
kelaparan dan siap menerkam. Melalui tujuh tokohnya dengan bermacam-macam
karakter. Pak Haji Rakhmad, Wak Katok, Pak Balam, Sutan, Talib, Sanib, dan
Buyung, Mochtar Lubis mengisahkan bagaimana sepulang mereka mencari damar di
hutan dan menginap di huma milik Wak Hitam.
Wak Hitam ini sangat ditakuti semua orang, tetapi sekarang ia dalam
kondisi sakit dan dirawat oleh isteri mudanya Siti Rubiyah yang cantik dan
menggoda para lelaki pendamar yang menginap itu.
Mereka
terpaksa mendapat ancaman dan serangan harimau tua itu karena mereka mengambil
(berburu) rusa yang juga menjadi incaran seekor harimau yang kelaparan itu.
Mula-mula Pak Balam diserang dan luka parah. Ia yang biasanya pendiam, justru
karena keakitannya mengingatkan kawanan itu akan dosa-dosa mereka.
Kelompok
ini semakin terteror secara mental karena ucapan-ucapan Pak Balam ini. Wak
Katok yang menjadi pemimpin walaupun sangat penakut dan licik, selalu berusaha
menghindar dan bahkan mau mencelakakan Buyung, Sanib, dan Pak Haji agar bisa selamat dan
menjaga reputasinya sebagai
seorang pemimpin, seolah-olah pemberani dan berjasa. Pak Haji sendiri tewas oleh senjata Wak Katok. Ia
pernah berujar bagaimana menghadapi harimau dan membunuhnya. Katanya, “Bunuhlah
lebih dahulu harimau dalam hatimu dan percayalah pada Tuhan.”
Teror
harimau terhadap kelompok ini semakin membuat mereka tertekan apalagi setelah
Sutan dimangsa dan Talib mati karena luka parah oleh harimau itu.
Dalam
kondisi demikian, mau tidak mau mereka harus melawan. Meski diselimuti
ketakutan, sikap Wak Katok yang selalu menjaga citra dirinya sebagai seorang
pemimpin, muncullah keberanian dan keteguhan hati sosok Buyung yang mencintai
gadis di kampungnya.
Awalnya,
ia tidak mau mengikuti bisikan dosanya karena dipaksa Wak
Katok dengan senapan. Ia lebih baik mati dari pada membuka aibnya dengan Siti
Rubiyah yang ternyata sangat pintar memikatnya dan tanpa sepengetahuannya
bermain api juga dengan Wak Katok di semak-semak sehabis mandi.
Keberanian
itu tampak kuat ada dalam diri Buyung ketika ia mengusulkan untuk memburu singa
itu ketimbang diburu olehnya. Sebenarnya, ketika ia ingin melindungi Siti
Rubiyah dan harus berhadapan dengan Wak Hitam, “guru” Wak Katok, Buyung tidak
segan-segan memeluk Siti Rubiyah hingga berzinah dengannya.
Kini,
antara harimau dan para pendamar itu tidak jelas siapa yang diburu dan siapa
yang memburu; siapa pemburu dan siapa korban. “Siapakah yang akan menjadi
pemburu, dan siapakah yang akan menjadi korban, tergantung pada kewaspadaan dan
kesiapan masing-masing.” (hal. 145)
Bagaimana
menghadapi harimau yang siap sedia menerkam para pendamar yang mengambil “rusa”
mangsanya itu ? “Mulai kini, diam-diamlah kita semua,” katanya berbisik,
“Jangan merokok, jangan batuk, dan jangan ribut sedikitpun juga. Mari kita
makan dulu.” (hal. 205).
Selamat membaca.