Data Buku
Judul :
Kambing Hitam; Teori Rene Girard
Penulis :
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun :
2007 (cetakan kedua)
Tebal :
xiii +
422 halaman
ISBN :
979-22-2089-5
Sungguh
suatu pilihan yang membuat kita tidak bisa berada di tengah-tengah terus, dan merasa aman-aman saja atau berdiam diri saja
ketika berhadapan dengan kekerasan. Pilihan salah satunya, ikut serta dalam
logika, laku, struktur, dan sistem kekerasan yang melahirkan kambing hitam :
semua melawan satu.
Pilihan
ini mudah dan murah, tetapi menyesatkan dan menyengsarakan diri saja. Pilihan
lainya adalah melawan. Ini pilihan sulit dan penuh perjuangan jatuh bangun,
tetapi akhirnya akan membahagiakan. Pilihan ini masih mungkin karena ada
tokoh-tokoh dalam Kitab Suci yang melawannya dan yang paling telak mematahkan
belenggu kekerasan adalah kesengsaran dan salib Yesus Kristus. Inilah kesan
membaca teori Rene Girard ini yang ditulis oleh Sindhunata dengan judul Kambing Hitam; Teori Rene Girard.
Mencengangkan.
Terkesan
provokatif memang. Tapi, ini bisa dimengerti karena intelektualitas dan imannya
menjadi satu kesatuan. Jika kita tidak mempunyai jiwa rasional, maka kita tidak
mampu untuk percaya, kata Santo Agustinus. Dengan mengetengahkan dua pilihan
serta konsekuensinya itu, Girard ingin mengajak pada proyek hidup yang lebih
besar, yang namanya demistifikasi diri, tidak lain adalah pertobatan diri.
Suatu langkah radikal, pembalikan total dari pola tiru meniru, rivalitas,
sampai dengan mentransendensikan yang horisontal ke pola hidup Imitatio Christi (Mengikuti Jejak Kristus) seperti diistilahkan oleh Thomas a
Kempis (1379 - 1471) yang nama aslinya Thomas Haemerken yang bukunya masih menjadi
buku pegangan orang-orang kristen. Dan, tentu sumbernya adalah sosok Yesus
Kristus sendiri seperti diberitakan dalam Injil Suci. Bagaimana jalan
pemikirannya sampai pada kesimpulan seperti itu ?
Masyarakat
manusia adalah bangunan yang mudah retak dan pecah, serta mudah jatuh ke dalam
krisis. Sebab semua tatanan masyarakat diancam oleh kekerasan. Tidak hanya itu,
bahkan tatanan masyarakat pun sesungguhnya berasal dari kekerasan, dan dibuat
untuk meredam kekerasan. "...kesatuan masyarakat itu dipertahankan dan
dijamin justru oleh kekerasan. Lebih dalam dari pada seks, rasa lapar, atau
kehausan akan kekuasaan, kekerasan dan mekanisme korbannya bahkan adalah
realitas yang membentuk identitas kemanusiaan: (hal. 313).
Mencari Jawaban
Menariknya,
Girard mencari jawabannya bukan hanya lewat penelitian sastra, tetapi juga
masuk ke jantung masalah kekerasan, yaitu pada mitos-mitos dan ritus-ritus,
khususnya agama-agama kuno. Tentu, ini semua meliputi bidang-bidang seperti
etnologi, antropologi, psikologi, mitologi, teologi, dan bahkan kritik sastra.
Dari
sastra, ia menganalisa dan membuat kritik sastra terhadap karya-karya
Cervantes, Flaubert, Proust, Stendhal, dan Dostojevsky. Apa yang ditemukan
dalam penelitian sastra itu ? Yaitu sistem tiru-meniru yang disebutnya hasrat
segitiga (trianguler desire).
Ternyata, yang menentukan sistem itu adalah sang mediator yang disebutnya "mediator of desire". Si subyek
menginginkan obyek karena mediator menginginkan obyek itu. Jadi keduanya
menginginkan hal yang sama. Mengapa subyek menginginkan keinginan mediator itu
? Karena mediator itu menjadi model bagi si subyek. Apa yang menjadi obyek
mediator lantas menjadi obyek bagi si subyek. Subyek meniru (vanity) mediator. Apa yang diinginkan
mediator diinginkan pula oleh si subyek, sampai pada akhirnya si mediator
justru dianggap menjadi penghalang dalam hasrat memiliki obyek yang sama.
Karena obyek keinginannya sama, maka salah satu harus mendapatkanya sedangkan
yang lainnya tidak. Mediator sekarang menjadi pesaing si subyek sehingga
mediator harus disingkirkan. Hubungannya hubungan rivalitas. Inilah teori
mimesis, tiru meniru.
Lantas,
proses tidak berhenti sebatas rivalitas antara mediator dengan si subyek.
Selain sebagai pesaing, mediator juga dianggap sebagai model. Jadi, dikagumi
setengah mati sampai pada taraf pengilahian mediator itu sendiri. Ini yang
disebut sebagai transendensi horisontal.
Bagi
si subyek, ada kemenduaan eksrim
berhadapan dengan mediator. Di satu sisi, ia mengagumi setengah mati dan
bahkan mengilahikan mediator. Karena itu, mediator dan diri subyek lantas tidak
bisa dibedakan lagi. Di sisi lain, mediator dianggap sebagai pesaing yang harus
disingkirkan.
Dengan
cara pandang demikian, tidak heranlah kita memahami penyakit-penyakit jiwa
seperti masokis dan sadistis, termasuk bunuh diri. Ternyata, menurut Girard,
perilaku tiru meniru ini mudah menyebar. Ia gampang sekali menular. Mediator
bisa meniru subyek sehingga mana mediator, mana subyek sudah tidak jelas lagi.
Orang-orang di sekitarnya, juga cepat terkena penyakit tiru meniru ini sehingga
mewabah.
Pertanyaan
mengapa perilaku tiru meniru ini mewabah dan akhirnya sampai membuat masyarakat
keseluruhan dilanda kekerasan yang sebenarnya berasal dari internal, tidak
membuat Rene Girard berhenti pada penelitian sastra atau kritik sastra. Ia
melanjutkan ke bidang-bidang lain seperti mitos dan ritus. Justru itulah yang
dijauhi para profesional entah 'sastra, kritik sastra, antropologi, psikologi,
mitologi, teologi maupun etnologi. Girard tidak mempedulikan batas-batas itu,
tetapi ia melampauinya. Melampauinya karena menghasilkan
pengetahuan-pengetahuan yang integral bukan tersekat-sekat. Itulah yang
mencengangkan dari pemikiran Rene Girard. Suatu kelemahan tetapi sekaligus juga
merupakan keberanian yang mencengangkan.
Dengan
meneliti, terutama mitos-mitos dan ritus-ritus, Girard menemukan bahwa perilaku
tiru meniru yang mewabah itu akhirnya membuat masyarakat (primitif) dihantui
dengan kekerasan dari dalam. Kekerasan yang satu melahirkan kekerasan lain dan
kekerasan lain menimbulkan kekerasan lain pula sehingga masyarakat tercekam .
Lingkaran kekerasan, balas - membalas, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tidak
terelakkan dalam hidup manusia.
Pengelabuhan
Lantas
yang menjadi masalah dalam masyarakat demikian adalah bagaimana menangani
masalah-masalah kekerasan ini. Diciptakanlah mitos-mitos (termasuk tabu-tabu),
ritus-ritus, dan tentunya agama (korban). Bagaimana ini bisa efektif menangani
kekerasan ? Efektif bila masyarakat tidak tahu. Caranya ? Pengelabuhan dan
dusta. Jadi pemimpin adalah orang yang paling pintar bermain taktik. Orang yang
menang dan berpengaruh adalah yang pandai munafik. Sedangkan yang kalah atau
rakyat biasa yang diperintahkan adalah yang tidak tahan dengan kemunafikan.
Situasi
demikian akhirnya juga menimbulkan krisis. "Sepandai-pandainya tupai
melompat, ia jatuh juga". Ritus-ritus korban akhirnya tidak efektif juga
karena ternyata banyak orang mengetahui bahwa itu hanya kedok belaka. Dalam
situasi demikian, tidak heran terjadi krisis distingsi (krisis membedakan
baik-buruk, benar-salah). Tidak bisa dibedakan lagi mana yang baik dan mana
yang jahat. Mana yang suci dan mana yang kotor. Banyak mitos dari berbagai
tempat yang mirip menceritakan krisis distingsi ini, misalnya dengan mitos anak
kembar, rivalitas saudara sekandung, dan sebagainya. Situasi ini berkembang
lalu timbullah 'unanimitas' kekerasan, kekerasan tak berjiwa, kekerasan karena
kekerasan itu sendiri, kekerasan muncul tanpa tedeng aling-aling. Pada
puncaknya, kekerasan meluas akan 'melunak' dengan ditemukannya kambing hitam
yang ditentukan secara sewenang-wenang. Tidak peduli kambing hitam itu memang
benar salah atau tidak, yang jelas
kekerasan dialihkan kepadanya.
Kambing
hitam terjadi bila ada fenomena kesertamertaan yang serempak setuju bahwa harus
ada yang dikorbankan atau yang disalahkan. Itulah logika "semua melawan
satu".Tidak sulit menemukan kambing hitam, yakni menemukan 'sedikit saja'
dari 'penyebab' kekerasan dan biasanya dari kelompok lain. Dengan mencari
kambing hitam, sebenarnya masyarakat ditipu mentah-mentah oleh karakter
kekerasan. Membuka kedok kekerasan itulah yang terpenting karena ia memiliki
seribu wajah.
Bagaimana Rene Girard
menjelaskan teorinya tentang membuka kedok kekerasan itu? Dasar seorang
intelektual, ia mendekati masalah itu dengan meneliti Kitab Suci. Lagi-lagi
suatu kelemehan sekaligus keberanian. Di sinilah yang lebih membuat kita
terpana. Ia lebih melihat lanjutan 'ceritanya' dengan kacamata iman tanpa
meninggalkan intelektualitasnya. Justru di titik inilah banyak intelektual
profesional enggan meneliti lebih jauh tentang
Kitab Suci untuk memahami rasionalitas ilmunya. Namun, keengganan itu
justru diterjang dengan semangatnya oleh Rene Girard.
Kitab
Suci Perjanjian Lama memang menelanjangi bentuk asli kekerasan, kata Rene
Girard, tetapi belum berhasil sepenuhnya. Kisah Kain dan Habil sebenarnya juga
bentuk penelanjangan kekerasan itu sendiri. Bagaimana Ayub protes bahwa dirinya
terhadap kekerasan, dan sebagainya.
Baru
dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus berhasil gilang gemilang menelanjangi
kekerasan. Sampai bentuk aslinya dan tidak bisa berubah lagi selain kekerasan
demi kekerasan itu sendiri, pembunuh dan pendusta manusia sejak semula. Puncak
penelanjangan kekerasan itu sendiri adalah kisah sengsara dan wafatnya Yesus
Kristus.
Membaca
buku Sindhunata ini betul-betul membuat orang garuk-garuk kepala bukan karena
banyak kutunya, tetapi heran sekaligus menemukan jawaban yang tidak kalah
memukaunya dengan keheranannya. Orang seperti tersihir dalam halaman demi
halaman tanpa melewatkan koma dan titiknya.
Ada
dua alasan. Pertama, isinya memang bagus. Ini bukan hanya mencerminkan
kepandaian, ketelitian, studi yang panjang, pengolahan batin dan penghayatan
seorang Rene Girard, tetapi juga penuturnya Gabriel Possenti Sindhunata, SJ.
Ini tercermin bukan hanya atas pemahamannya tentang Rene Girard yang awalnya
diperkenalkan dosennya Dr. J.B. Banawiratma, tetapi pergulatan batinnya sendiri
yang seorang Cina lahir di Jawa dan banyak bergaul dengan kejawaan.
Ia
sendiri juga berusaha menganalisis mitos-mitos dan ritus di Jawa, misalnya
kultur ruwatan Batara Kala, rivalitas Semar dan Togog, Sugriwa dan Subali,
Pandawa dan Kurawa.
Pada
bagian akhir, Sindhunata mengajak berefleksi tentang kecinaan yang tidak jarang
menjadi kambing hitam melalui dua peristiwa, yakni ketika Agresi Militer II
sekitar tahun 1948 dan Tragedi Mei 1998. Dua peristiwa itu menunjukkan betapa
etnis Cina menjadi kambing hitam kekerasan yang meluas. Ternyata, undangan
refleksi itu menular juga kepada pembaca untuk berefleksi dan mengolah batinnya
sendiri untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Alasan
kedua, dari sisi bentuk (forma) cukup
menarik membuat orang tertarik membaca. Bahasanya lancar bergaya jurnalistik
meskipun sebenarnya hal itu tulisan-tulisan ilmiah. Kita tidak terasa membaca
suatu buku yang "berat" karena kadar ilmiahnya seperti thesis atau
disertasi.
Lebih
dari semua itu sebenarnya, berhasil tidaknya suatu buku tergantung apakah
pembacanya diajak berdialog bukan hanya dengan pengarang tetapi pertemuan dan
pergulatan batin pembaca sendiri. Dan, dari pergulatan batin, termasuk
pemahaman pembaca inilah benih yang ditaburkan akan tumbuh menjadi pohon dan
bermanfaat bagi diri, sesama, dan dunia. Menurut saya, buku ini berhasil. Selamat
membaca.
Daniel Setyo Wibowo