Senin, 10 Oktober 2016

Bangunan Rapuh Manusia itu Namanya Kambing Hitam



Data Buku



Judul      : Kambing Hitam; Teori Rene Girard


Penulis   : Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ


Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama


Tahun      : 2007 (cetakan kedua)


Tebal       : xiii  +   422 halaman


ISBN        : 979-22-2089-5





     Sungguh suatu pilihan yang membuat kita tidak bisa berada di tengah-tengah  terus, dan merasa aman-aman saja atau berdiam diri saja ketika berhadapan dengan kekerasan. Pilihan salah satunya, ikut serta dalam logika, laku, struktur, dan sistem kekerasan yang melahirkan kambing hitam : semua melawan satu.

            Pilihan ini mudah dan murah, tetapi menyesatkan dan menyengsarakan diri saja. Pilihan lainya adalah melawan. Ini pilihan sulit dan penuh perjuangan jatuh bangun, tetapi akhirnya akan membahagiakan. Pilihan ini masih mungkin karena ada tokoh-tokoh dalam Kitab Suci yang melawannya dan yang paling telak mematahkan belenggu kekerasan adalah kesengsaran dan salib Yesus Kristus. Inilah kesan membaca teori Rene Girard ini yang ditulis oleh Sindhunata dengan judul Kambing Hitam; Teori Rene Girard. Mencengangkan.

            Terkesan provokatif memang. Tapi, ini bisa dimengerti karena intelektualitas dan imannya menjadi satu kesatuan. Jika kita tidak mempunyai jiwa rasional, maka kita tidak mampu untuk percaya, kata Santo Agustinus. Dengan mengetengahkan dua pilihan serta konsekuensinya itu, Girard ingin mengajak pada proyek hidup yang lebih besar, yang namanya demistifikasi diri, tidak lain adalah pertobatan diri. Suatu langkah radikal, pembalikan total dari pola tiru meniru, rivalitas, sampai dengan mentransendensikan yang horisontal ke pola hidup Imitatio Christi (Mengikuti Jejak Kristus) seperti diistilahkan oleh Thomas a Kempis (1379 - 1471) yang nama aslinya Thomas Haemerken yang bukunya masih menjadi buku pegangan orang-orang kristen. Dan, tentu sumbernya adalah sosok Yesus Kristus sendiri seperti diberitakan dalam Injil Suci. Bagaimana jalan pemikirannya sampai pada kesimpulan seperti itu ?

            Masyarakat manusia adalah bangunan yang mudah retak dan pecah, serta mudah jatuh ke dalam krisis. Sebab semua tatanan masyarakat diancam oleh kekerasan. Tidak hanya itu, bahkan tatanan masyarakat pun sesungguhnya berasal dari kekerasan, dan dibuat untuk meredam kekerasan. "...kesatuan masyarakat itu dipertahankan dan dijamin justru oleh kekerasan. Lebih dalam dari pada seks, rasa lapar, atau kehausan akan kekuasaan, kekerasan dan mekanisme korbannya bahkan adalah realitas yang membentuk identitas kemanusiaan: (hal. 313).



Mencari Jawaban



            Menariknya, Girard mencari jawabannya bukan hanya lewat penelitian sastra, tetapi juga masuk ke jantung masalah kekerasan, yaitu pada mitos-mitos dan ritus-ritus, khususnya agama-agama kuno. Tentu, ini semua meliputi bidang-bidang seperti etnologi, antropologi, psikologi, mitologi, teologi, dan bahkan kritik sastra.

            Dari sastra, ia menganalisa dan membuat kritik sastra terhadap karya-karya Cervantes, Flaubert, Proust, Stendhal, dan Dostojevsky. Apa yang ditemukan dalam penelitian sastra itu ? Yaitu sistem tiru-meniru yang disebutnya hasrat segitiga (trianguler desire). Ternyata, yang menentukan sistem itu adalah sang mediator yang disebutnya "mediator of desire". Si subyek menginginkan obyek karena mediator menginginkan obyek itu. Jadi keduanya menginginkan hal yang sama. Mengapa subyek menginginkan keinginan mediator itu ? Karena mediator itu menjadi model bagi si subyek. Apa yang menjadi obyek mediator lantas menjadi obyek bagi si subyek. Subyek meniru (vanity) mediator. Apa yang diinginkan mediator diinginkan pula oleh si subyek, sampai pada akhirnya si mediator justru dianggap menjadi penghalang dalam hasrat memiliki obyek yang sama. Karena obyek keinginannya sama, maka salah satu harus mendapatkanya sedangkan yang lainnya tidak. Mediator sekarang menjadi pesaing si subyek sehingga mediator harus disingkirkan. Hubungannya hubungan rivalitas. Inilah teori mimesis, tiru meniru.

            Lantas, proses tidak berhenti sebatas rivalitas antara mediator dengan si subyek. Selain sebagai pesaing, mediator juga dianggap sebagai model. Jadi, dikagumi setengah mati sampai pada taraf pengilahian mediator itu sendiri. Ini yang disebut sebagai transendensi horisontal.

            Bagi si subyek, ada kemenduaan eksrim  berhadapan dengan mediator. Di satu sisi, ia mengagumi setengah mati dan bahkan mengilahikan mediator. Karena itu, mediator dan diri subyek lantas tidak bisa dibedakan lagi. Di sisi lain, mediator dianggap sebagai pesaing yang harus disingkirkan.

            Dengan cara pandang demikian, tidak heranlah kita memahami penyakit-penyakit jiwa seperti masokis dan sadistis, termasuk bunuh diri. Ternyata, menurut Girard, perilaku tiru meniru ini mudah menyebar. Ia gampang sekali menular. Mediator bisa meniru subyek sehingga mana mediator, mana subyek sudah tidak jelas lagi. Orang-orang di sekitarnya, juga cepat terkena penyakit tiru meniru ini sehingga mewabah.

            Pertanyaan mengapa perilaku tiru meniru ini mewabah dan akhirnya sampai membuat masyarakat keseluruhan dilanda kekerasan yang sebenarnya berasal dari internal, tidak membuat Rene Girard berhenti pada penelitian sastra atau kritik sastra. Ia melanjutkan ke bidang-bidang lain seperti mitos dan ritus. Justru itulah yang dijauhi para profesional entah 'sastra, kritik sastra, antropologi, psikologi, mitologi, teologi maupun etnologi. Girard tidak mempedulikan batas-batas itu, tetapi ia melampauinya. Melampauinya karena menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang integral bukan tersekat-sekat. Itulah yang mencengangkan dari pemikiran Rene Girard. Suatu kelemahan tetapi sekaligus juga merupakan keberanian yang mencengangkan.

            Dengan meneliti, terutama mitos-mitos dan ritus-ritus, Girard menemukan bahwa perilaku tiru meniru yang mewabah itu akhirnya membuat masyarakat (primitif) dihantui dengan kekerasan dari dalam. Kekerasan yang satu melahirkan kekerasan lain dan kekerasan lain menimbulkan kekerasan lain pula sehingga masyarakat tercekam . Lingkaran kekerasan, balas - membalas, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tidak terelakkan dalam hidup manusia.



Pengelabuhan

            Lantas yang menjadi masalah dalam masyarakat demikian adalah bagaimana menangani masalah-masalah kekerasan ini. Diciptakanlah mitos-mitos (termasuk tabu-tabu), ritus-ritus, dan tentunya agama (korban). Bagaimana ini bisa efektif menangani kekerasan ? Efektif bila masyarakat tidak tahu. Caranya ? Pengelabuhan dan dusta. Jadi pemimpin adalah orang yang paling pintar bermain taktik. Orang yang menang dan berpengaruh adalah yang pandai munafik. Sedangkan yang kalah atau rakyat biasa yang diperintahkan adalah yang tidak tahan dengan kemunafikan.

            Situasi demikian akhirnya juga menimbulkan krisis. "Sepandai-pandainya tupai melompat, ia jatuh juga". Ritus-ritus korban akhirnya tidak efektif juga karena ternyata banyak orang mengetahui bahwa itu hanya kedok belaka. Dalam situasi demikian, tidak heran terjadi krisis distingsi (krisis membedakan baik-buruk, benar-salah). Tidak bisa dibedakan lagi mana yang baik dan mana yang jahat. Mana yang suci dan mana yang kotor. Banyak mitos dari berbagai tempat yang mirip menceritakan krisis distingsi ini, misalnya dengan mitos anak kembar, rivalitas saudara sekandung, dan sebagainya. Situasi ini berkembang lalu timbullah 'unanimitas' kekerasan, kekerasan tak berjiwa, kekerasan karena kekerasan itu sendiri, kekerasan muncul tanpa tedeng aling-aling. Pada puncaknya, kekerasan meluas akan 'melunak' dengan ditemukannya kambing hitam yang ditentukan secara sewenang-wenang. Tidak peduli kambing hitam itu memang benar salah  atau tidak, yang jelas kekerasan dialihkan kepadanya.

            Kambing hitam terjadi bila ada fenomena kesertamertaan yang serempak setuju bahwa harus ada yang dikorbankan atau yang disalahkan. Itulah logika "semua melawan satu".Tidak sulit menemukan kambing hitam, yakni menemukan 'sedikit saja' dari 'penyebab' kekerasan dan biasanya dari kelompok lain. Dengan mencari kambing hitam, sebenarnya masyarakat ditipu mentah-mentah oleh karakter kekerasan. Membuka kedok kekerasan itulah yang terpenting karena ia memiliki seribu wajah.



            Bagaimana Rene Girard menjelaskan teorinya tentang membuka kedok kekerasan itu? Dasar seorang intelektual, ia mendekati masalah itu dengan meneliti Kitab Suci. Lagi-lagi suatu kelemehan sekaligus keberanian. Di sinilah yang lebih membuat kita terpana. Ia lebih melihat lanjutan 'ceritanya' dengan kacamata iman tanpa meninggalkan intelektualitasnya. Justru di titik inilah banyak intelektual profesional enggan meneliti lebih jauh tentang  Kitab Suci untuk memahami rasionalitas ilmunya. Namun, keengganan itu justru diterjang dengan semangatnya oleh Rene Girard.

            Kitab Suci Perjanjian Lama memang menelanjangi bentuk asli kekerasan, kata Rene Girard, tetapi belum berhasil sepenuhnya. Kisah Kain dan Habil sebenarnya juga bentuk penelanjangan kekerasan itu sendiri. Bagaimana Ayub protes bahwa dirinya terhadap kekerasan, dan sebagainya.

            Baru dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus berhasil gilang gemilang menelanjangi kekerasan. Sampai bentuk aslinya dan tidak bisa berubah lagi selain kekerasan demi kekerasan itu sendiri, pembunuh dan pendusta manusia sejak semula. Puncak penelanjangan kekerasan itu sendiri adalah kisah sengsara dan wafatnya Yesus Kristus.

            Membaca buku Sindhunata ini betul-betul membuat orang garuk-garuk kepala bukan karena banyak kutunya, tetapi heran sekaligus menemukan jawaban yang tidak kalah memukaunya dengan keheranannya. Orang seperti tersihir dalam halaman demi halaman tanpa melewatkan koma dan titiknya.

            Ada dua alasan. Pertama, isinya memang bagus. Ini bukan hanya mencerminkan kepandaian, ketelitian, studi yang panjang, pengolahan batin dan penghayatan seorang Rene Girard, tetapi juga penuturnya Gabriel Possenti Sindhunata, SJ. Ini tercermin bukan hanya atas pemahamannya tentang Rene Girard yang awalnya diperkenalkan dosennya Dr. J.B. Banawiratma, tetapi pergulatan batinnya sendiri yang seorang Cina lahir di Jawa dan banyak bergaul dengan kejawaan.

            Ia sendiri juga berusaha menganalisis mitos-mitos dan ritus di Jawa, misalnya kultur ruwatan Batara Kala, rivalitas Semar dan Togog, Sugriwa dan Subali, Pandawa dan Kurawa.

            Pada bagian akhir, Sindhunata mengajak berefleksi tentang kecinaan yang tidak jarang menjadi kambing hitam melalui dua peristiwa, yakni ketika Agresi Militer II sekitar tahun 1948 dan Tragedi Mei 1998. Dua peristiwa itu menunjukkan betapa etnis Cina menjadi kambing hitam kekerasan yang meluas. Ternyata, undangan refleksi itu menular juga kepada pembaca untuk berefleksi dan mengolah batinnya sendiri untuk menemukan kebahagiaan sejati.

            Alasan kedua, dari sisi bentuk (forma) cukup menarik membuat orang tertarik membaca. Bahasanya lancar bergaya jurnalistik meskipun sebenarnya hal itu tulisan-tulisan ilmiah. Kita tidak terasa membaca suatu buku yang "berat" karena kadar ilmiahnya seperti thesis atau disertasi.

            Lebih dari semua itu sebenarnya, berhasil tidaknya suatu buku tergantung apakah pembacanya diajak berdialog bukan hanya dengan pengarang tetapi pertemuan dan pergulatan batin pembaca sendiri. Dan, dari pergulatan batin, termasuk pemahaman pembaca inilah benih yang ditaburkan akan tumbuh menjadi pohon dan bermanfaat bagi diri, sesama, dan dunia. Menurut saya, buku ini berhasil. Selamat membaca.



Daniel Setyo Wibowo