Data
Buku
Judul : Amarah Satu
Judul
Asli : The Grapes of Wrath
Penulis :
John Steinbeck
Penerjemah : Sapardi Djoko Damono
Pengantar : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Tahun : 2000
Tebal : xvi + 398
halaman; 21 cm
ISBN : 979-461-330-4 (jilid lengkap)
Apa
salahnya menyusui tua bangka yang sekarat agar bisa tetap hidup dari teteknya
sendiri sementara bayinya sendiri yang baru saja lahir ternyata mati ? Dunia
ini memang terbalik-balik ! Mungkin demi
kebaikan dalam keterpaksaan dan ketakberdayaan ? Tidak pernah
terpikirkan apalagi terbayangkan. Tapi, John Steinbeck dengan cerdasnya membawa
kita pada dunia yang semacam itu. Dan, apa jawabannya ? "Kau harus,"
katanya. Ia menggeliat lebih dekat dan menarik kepala laki-laki itu di
dekatnya. "Nah !" katanya. "Di situ." Tangannya bergerak ke
belakang kepalanya dan menopangnya. Jari-jarinya bergerak dengan lembut pada
rambutnya. Ia melihat ke atas, ke seputar gudang itu, dan bibirnya merapat dan
tersenyum dengan misterius (hal. 396).
Bagaimana
bisa dipahami tanaman anggur harus dihancurkan atau jutaan jeruk harus dibuang.
Kentang, jagung, kopi harus dibuang atau dibakar untuk semata-mata menjaga dan
menaikkan harga, sementara orang-orang di sekelilingnya kelaparan ? Pemenang
Nobel di bidang sastra ini menjawabnya, "...dan dalam mata orang yang
kelaparan ada amarah yang semakin besar. Di dalam jiwa orang-orang itu anggur
kemurkaan sedang tumbuh dan semakin hebat, semakin berat untuk dipanen."
(hal. 233).
Bagaimana
dapat dipahami ketika ada pekerjaan untuk satu orang, ratusan lainnya
memperebutkan - berebut dengan upah serendah-rendahnya ? Upah semakin rendah,
tetapi harga-harga tetap tinggi atau semakin tinggi ? Semakin banyak pencari
kerja, semakin rendah upahnya. Buku yang sempat memenangkan Hadiah Pulitzer ini
menjawabnya.
"Perusahaan-perusahaan
besar tidak mengetahui bahwa batas antara rasa lapar dan amarah adalah garis
tipis. Dan uang yang seharusnya menjadi upah mengalir untuk bensin, senjata,
untuk agen dan spion, untuk daftar hitam, untuk latihan. Di atas jalan-jalan
raya orang bergerak seperti semut dan mencari pekerjaan, demi sesuap makanan.
Dan, kemarahan itu mulai meragi." (hal. 130)
Dengan
menampilkan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban seperti di atas, buku
berjudul Amarah kiranya membawa
pembacanya pada jatuhnya martabat manusia sampai di titik nadir. Bagaimana
kalau sudah sampai taraf itu ? Masa depan bahkan masa kinipun kabur. Tiada
pengharapan lagi. Dan, bagaimana kalau pengharapan sudah tidak ada lagi ? Batas
antara yang boleh dan tidak, baik dan buruk, yang kuat dan yang lemah, yang
suci dan profan, yang tua renta dan
bayi, tidak ada lagi. Di titik paling rendah itulah, martabat kemanusiaan,
keilahian manusia, sudah tak berharga lagi.
Diawali Kisah
Amarah diawali dengan kisah kembalinya
Tom Joad dari penjara karena membunuh orang. Ia dilepas dalam masa percobaan
karena kelakuannya yang baik. Di luar pun keadaannya lebih berat dibanding di
penjara. Ia menemukan rumah dan tanah keluarganya hancur berantakan digusur
traktor, kepanjangan tangan kekuatan abstrak yang dilembagakan sebagai bank.
Keluarganya berantakan harus mengungsi ke tetangganya yang masih tersisa. Di
sinilah ia bertemu Casy, yang meninggalkan kependetaanyan dan yang tidak yakin
akan pengharapan.
Tanah
adalah satu-satunya penghidupan turun temurun keluarga Joad. Mereka adalah
petani di daerah tandus di Oklahoma. Karena itu, mereka disebut "Okies". Tapi, tanah mereka sekarang
bukan tanah milik mereka lagi. Memang ada Al yang ingin meninggalkan pertanian
dan belajar ke industri, yaitu jadi montir, tetapi pekerjaan yang tersedia dan
itupun diperebutkan banyak orang hanyalah buruh petik buah atau kapas.
Sampai
di sini, masih ada harapan, yaitu pergi ke Barat, yaitu California seperti
dilakukan banyak petani tuna tanah dari Oklahoma. California seperti
menjanjikan tanah terjanji bagi petani-petani itu, termasuk keluarga Joad,
kecuali kakek dan nenek yang mati dalam perjalanan yang tidak rela meninggalkan bekas rumah dan tanahnya.
Selebaran-selebaran akan pekerjaan sebagai buruh pemetik buah-buahan,
bertebaran. Para petani tuna tanah pun berbondong-bondong walau tanpa
kepastian.
Perjalanan
dari Oklahoma ke California begitu jauh sehingga perlu persiapan matang, termasuk
menyiapkan dananya, apalagi membawa anak-anak, kakek-nenek, ayah-ibu,
saudara-saudara, dan Casy. Dana mereka sangat minim. Dan, dengan ketergesaan
mereka menjual apa yang masih bisa dijual meski dengan harga yang sangat murah.
Demi suatu harapan.
Kendaraan
yang dibeli itupun barang rongsokan yang tidak tahu bisa mengantar sampai ke
tempat tujuan atau tidak. Dengan tekad yang kuat memperbaiki hidup, mereka
berangkat. Mereka berpikiran kalau pekerjaan mudah didapat sehingga cita-cita
mempunyai rumah mungil yang berlantai semakin memotivasi mereka dalam menempuh
perjalanan.
Mereka
tidak kehilangan harapan ketika mereka mendengar beberapa petani senasib
seperti mereka memberi pengalaman buruk mereka ketika berada di sungai. Bahkan,
harapan itu semakin membubung tinggi
ketika mereka berada di suatu puncak pada dini hari dan melihat tanah terjanji
California yang penuh dengan kebun buah-buahan. Begitu indah dari kejauhan.
California
yang indah dari kejauhan, ternyata menyimpan kepahitan-kepahitan dan air mata
seperti dialami keluarga Joad. Semakin didekati, semakin pahit, kasar, dan tak
manusiawi. Tanah baru itu tidak membutuhkan mereka, kecuali tenaga yang dibayar
murah. Makan saja susah meskipun banyak kentang dan buah-buahan yang dibuang
oleh perusahaan-perusahaan pertanian itu. Pemogokan kerja tidak memberi
pengaruh berarti karena begitu mogok, ribuan orang berdatangan untuk mencari
pekerjaan. Atau pemimpin yang melakukan pemogokan dibunuh oleh orang-orang
suruhan perusahaan seperti terjadi pada kasus Casy. Dan, Tom terpaksa melarikan
diri karena membela Casy.
Kepahitan
dan kepedihan seakan bertubi-tubi menyerang keluarga Joad dan para petani tuna
tanah itu. Kepedihan satu belum pergi, kepahitan lain yang lebih ganas sudah
berdatangan seperti air bah. Air bah itu datang tiba-tiba meskipun sang ayah
sudah berusaha membuat tanggul. Rose of Sharon yang dipanggil Rosasharn, anak
dari keluarga Joad terpaksa melahirkan dalam kondisi air bah dan menolong orang
tua renta yang mau mati karena kekurangan gizi. Rosasharn akhirnya merelakan
menyusui si lelaki tua renta itu. Bibirnya merapat dengan tersenyum penuh
misterius.
Memasyarakat
Dalam
pengantarnya, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa novel ini merupakan salah
satu buku yang paling memasyarakat di negerinya. Padahal, pengarangnya seorang
penyendiri. Dikatakan pula, sejak diterbitkan pada 14 April 1939 dalam jangka
waktu dua bulan sudah ada sekitar 90 ulasan dan timbangan buku di pelbagai
media massa dan jurnal. Bahkan, menjadi buku 'best seller'.
Buku
ini tidak hanya memasyarakat, tetapi sempat memenangkan Hadiah Pulitzer, hadiah
sastra paling bergengsi di Amerika dan pada tahun 1962 menjadi bahan
pertimbangan utama dalam pemberian Hadiah Nobel bagi John Steinbek. Karya ini
sudah diterjemahkan ke dalam sekitar 30 bahasa.
Membosankan
Ketika
mulai membaca sastra ini, tidak terkesan apa-apa. Tampaknya datar. Dialogpun
monoton. Bahan yang digarap pun tampak lokal dan temporal. Tentu, ini sulit
dipahami orang Indonesia atau setidaknya di luar Amerika, khususnya Oklahoma
dan California. Konsep hidup yang ditawarkan juga tidak terlalu mengesankan.
Biasa-biasa saja. Membaca setengah saja, rasanya ingin cepat-cepat menutup. Apa
yang ingin disampaikan juga rasanya belum begitu jelas. Membosankan.
Namun,
kalau kita agak bersabar sedikit dan menyelesaikannya sampai akhir, kita akan
tercengang. Dan inilah yang kemudian muncul keinginan untuk membaca ulang bukan
dengan rasa kebosanan lagi.
Dan
apa yang membuat tercengang ? Perendahan nilai-nilai martabat manusia sampai
serendah-rendahnya tanpa ada pengharapan lagi. Bukankah kondisi keluarga Joad
monoton, membosankan, dan ingin-ingin cepat-cepat menyelesaikan takdir mereka ?
Ternyata
cerita dibangun dengan pesan tersebut sampai sedetailnya sehingga terkesan realistik
dan naturalistik. Awalnya, perendahan martabat petani yang dilepaskan secara
paksa dari tanahnya. Masih bertahan karena ada harapan di California. Sampai
akhirnya tidak ada jalan keluar lagi. Tidak ada pengharapan lagi.
"Having
taken God like power, we must seek in ourselves for responsibility and the
wisdom we once prayed some deity might have," tutur John Steinbeck dalam Acceptance Speech Nobel Lectures,
Literature, 1962. Sungguh suatu isi dan bentuk cerita yang padu. Selamat
membaca...
Daniel Setyo Wibowo