Data
Buku
Judul :
Aku Mau : Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar)
Judul Asli : On Feminism and Nationalism : Kartini’s Letters to Stella
Zeehandelaar 1899 – 1903
Alih Bahasa : Vissia Ita Yulianto
Kata Pengantar : Goenawan Mohamad
Pengantar Edisi Bahasa Inggris : Dr. Joost Coté
Penerbit :
Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Univ. Sanata Dharma Yogyakarta dan
Penerbit Buku Kompas
Tahun :
2004
Tebal :
227 halaman + lxxiv ;
12 x 18 cm
ISBN :
979-3239-09-3
Membaca
surat-surat Kartini, selalu menarik. Ia melukiskan pergolakan batin seorang
ramaja yang dilingkupi konteks zamannya. Dan, Kartini berada pada pusaran arus
zaman itu. Ia anak seorang bupati (sistem feodalistik), proyek politik etis
yang digencarkan oleh Belanda termasuk realisasinya
pendirian
pabrik opium (candu) terbesar yang setidaknya diwakili sosok politikus piawai
dan ahli hukum yang kemudian menjadi Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadah,
dan Kerajinan Mr. J.H. Abendanon dan isterinya Mandri, aliran feminisme di
negeri Belanda sendiri yang diwakili misalnya Stella Zeehandelaar yang menjadi
sahabat penanya, kekolotan penduduk pribumi dengan maraknya candu, poligami,
kemiskinan, wabah pes, dan sebagainya.
Sementara semangat zaman waktu itu adalah eksplorasi
dunia Timur oleh Barat. Dunia Timur begitu mempesona. Bukan hanya karena garam,
candu, kapur barus, atau rempah-rempah, mereka berdatangan ke bumi pertiwi.
Mereka berpetualang karena ketertarikan atas ketelanjangan dada putri-putri
Bali, perburuan harimau atau petualangan di Sumatera yang mereka kerap dengar
atau baca, tergila-gilanya para raja Jawa pada “kebulean” sebagai suatu simbul
wahyu keraton, atau kisah mengerikan para istri bangsawan Bali yang melakukan pati obong .dalam suatu upacara.
Gelombang orang-orang dari dunia Barat berdatangan karena semangat eksotisme
Timur. Tulisan-tulisan atau cerita tentang atau dari Timur begitu memukau para
petualang Barat ini.
Dalam konteks itu, pengumpulan surat-surat Kartini oleh
JH Abendanon dan penerbitannya menjadi buku Door
Duisternistot Licht dengan antusias diapresiasi luar biasa di dunia Barat :
Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika. Eksotisme Timur begitu memukau.
Antusiasme Barat terhadap Kartini tidak surut sampai hari
ini. Beberapa waktu yang lalu (13 – 31 Maret 2017) diadakan pameran foto
bertema “Jejak Langkah Seorang Raden Ajeng : Reflection on RA Kartini” di
Erasmus Huis Jakarta. Kurator Tracy Wright Webster dari University of Western
Australia, menampilkan 26 foto yang diseleksi dari 75 foto tentang Kartini
koleksi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-Landen Volkenkunde / Lembaga Ilmu
Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda) (Kompas, Minggu, 26 Maret
2017). Mereka mendokumentasi dengan rapi. Mereka merawat pesona dunia Timur
lewat sosok Kartini.
Bagaimana dengan bangsa Indonesia sendiri mengeksplorasi
dirinya sendiri lewat tokoh Kartini yang konon ekplorasinya lebih bersifat inward looking dari pada outward looking ? Bagaimana ini memahami
tulisan-tulisan Kartini sendiri ? Apakah tersimpan koleksi surat-surat dari sahabat-sahabat
pena Kartini agar dapat memahami tulisan kartini sendiri? Ataukah semua raib,
meski rumah Kartini di Jepara kini menjadi pusat perhatian ?
Membaca buku Aku
Mau : Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar) (2004)
hasil terjemahan Vissia Ita Yulianto, dalam konteks zamannya yang bergejolak semangat
eksotisme Timur, membuat segar kembali.
Gadis Polos
Seorang
gadis remaja polos yang menginjak dewasa seperti Kartini
mencoba menanggapi masalah-masalah disekelilingnya termasuk permasalahannya
sendiri seperti ingin mendapat pendidikan yang lebih baik, tidak harus kawin,
pingitan, dan sebagainya. Pendiriannya dan perjalanan hidupnya menggebu-gebu
pada awalnya ingin ke Barat (Belanda atau Batavia) untuk mengenyam pendidikan
yang baik agar bisa digunakan mendidik bangsanya. Namun, arus yang dilawannya
tampaknya terlalu kuat sehingga harus merelakan proyek hidupnya mengejar cita-citanya
berbalik arah, tidak ke Barat, tetapi ke Timur. Maksudnya, ke Rembang, menjadi
istri Bupati Rembang, Raden Adipati Djojo Adiningrat yang sudah mempunyai enam
orang anak.
Pemerintah
(Belanda) sendiri memang pada akhirnya mengabulkan permintaan bantuan pendanaan
untuk pendidikan Kartini dan saudari-saudarinya, tetapi Kartini sendiri
menginginkan agar yang berangkat dan menempuh pendidikan bukan dirinya, tetapi
orang lain, yaitu seorang pemuda dari Riau yang bernama Salim (kemudian dikenal
Haji Agus Salim). Apa yang
menggebu-gebu dikejarnya, tetapi setelah hampir memperolehnya terpaksa harus
dilepaskan. Ia sendiri lebih memilih untuk kawin
dengan Bupati Rembang itu dari pada mengejar cita-cita dan mendidik masyarakat
dan bangsanya. Padahal, pendidikan itu yang selalu diperjuangkan sejak awal
disamping penentangannya terhadap candu dan poligami.
Pergulatan
batin dan faktor-faktor eksternal termasuk bujukan-bujukan itulah yang
setidaknya terlihat ketika kita membaca surat-surat Kartini sehingga ia memutuskan
ke Rembang menjadi Raden Ayu Djojo Adiningrat seperti disebut oleh sahabat
penanya Est. H. Harthalt – Zeehandelaar dalam Belang En Recht, vol 9, No. 194, 11 November 1904 ketika mendengar
meninggalnya Kartini. Ini berbeda sekali dengan misalnya surat Kartini yang
bersemangat agar minta disebut sebagai Kartini saja tanpa embel-embel gelar,
“...panggil saja aku Kartini – itu namaku.”
Dalam
konteks itulah, penerjemahan kembali Surat-surat Kartini selalu menarik,
seperti dilakukan Vissia Ita Yulianto dalam Aku
Mau : Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar). Apa yang menjadi pergulatan batin Kartini menanggapi
lingkungan eksternalnya dan bagaimana lingkungannya mempengaruhi, memperdalam,
mengombang-ambingkan pendiriannya, ingin diperlihatkan dalam tulisan kecil ini.
Tulisan
kecil ini ingin melihat hubungan itu dari sisi bentuknya. Jadi, bukan materi
dan ide-ide yang memang sudah banyak dibahas dan disampaikan berbagai macam
tulisan, termasuk oleh Vissia Ita Yulianto dalam catatan penerjemah, Dr. Joost
Coté, Cora Vreede de Stuers, dan masih banyak lagi.
Sebenarnya,
Goenawan Mohamad dalam Pengantar buku ini juga melihat dari sisi bentuk ini,
yaitu sebagai suatu korespondensi yang berada di antara catatan harian (seperti
dilakukan Anne Frank dengan catatan hariannya) dan media massa. Dari bentuk korespondensi
yang berada di tengah-tengah ini, lalu Goenawan Mohamad menuju ide utamanya,
yaitu persona.
Kartini sebuah persona.
Kritik
Namun,
Goenawan Mohamad tidak membedakan lebih jauh apakah korespondensi itu sifatnya
pribadi atau publik dan resmi. Surat Kartini kepada pemerintah misalnya tanggal
24 Agustus 1903 atau “Nota R.A. Kartini kepada Pemerintah; Lampiran Surat
Permohonan Tertanggal 19 April 1903 adalah jelas masuk wilayah publik dan
resmi. Jadi, publik berhak mengetahui. Siapa saja boleh membaca dan
mengetahuinya.
Sementara
surat kepada Stella Zeehandelaar juga jelas merupakan surat pibadi dari dua
orang sahabat. Tidak boleh sembarang orang mencampuri atau mengetahui begitu
saja tanpa merusakkan hubungan persahabatan yang terjalin itu. Lalu, ini
menjadi masalah bila sudah menjadi konsumsi publik dan politik. Jadi, wajar
dan bahkan menjadi kewajiban bagi Stella tidak “menyerahkan” beberapa surat
Kartini untuk keperluan publikasi seperti dikatakan Dr. Joost Coté meskipun
untuk alasan kepentingan politik etis atau “demi kepentingan umum”. Dia wajib
melindungi persahabatannya.
Justru
yang membingungkan adalah surat-surat Kartini kepada Mr. J.H. Abendanon yang
juga mengedit dan menerbitkan surat-surat Kartini itu. Ini termasuk surat
pribadi atau sifatnya publik atau resmi. Di sinilah letak kepolosan seorang
remaja seperti Kartini, sangat kelihatan. Ia menganggap semua orang sahabatnya,
atau ibunya, atau bapaknnya, atau pamannya (Dr. N. Adriani), seperti layaknya
remaja yang baru pertama kali mengenal dunia : semua orang baik, semua orang
membantunya, dan semua orang mendukungnya. Atau seperti seorang puteri yang
dikurung di kastil yang menunggu ada pangeran yang membebaskannya.
Dari
sisi Kartini,
surat kepada Abendanon dan isterinya misalnya jelas adalah surat pribadi karena
ia menganggapnya sebagai ayah dan ibunya. Sedangkan dari pihak J.H.
Abendanon-Mandri tentu lain karena ia sekaligus berperan sebagai Direktur
Kementerian Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan. Hubungan Kartini bisa masuk
pribadi juga bisa masuk sebagai publik atas nama politik etis. Kartini tidak
hanya dilihat sebagai “anak” tetapi juga bisa dianggap sebagai “klien” dan
“proyek” misalnya untuk menentukan program pendidikan dalam politik etis atau pendirian pabrik candu di kawasan Salemba yang
terbesar di Asia bahkan dunia. Kita ingat Stella dan Kartini sangat menentang candu
justru dalam surat dan semangat pertamanya. Bagi Abendanon, sikap terhadap gadis polos Kartini ini
adalah sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Di
samping itu, bagaimana memahami Kartini sebagai persona seperti dimaksudkan
Goenawan Mohamad, jika yang kita kenal hanya surat-surat sepihak dari Kartini
sementara surat-surat Abendanon, Stella Zeehandelaar, N. Adriani, Ir.H.H. van
Kol dan nyonya J.M.P van Kol, Nyonya M.C.E. Ovink, Prof. Dr. G.K Anton atau
Nyonya H. G. De Booy tidak pernah
dipublikasikan. Padahal, normalnya mengumpulkan surat-surat ini relatif lebih
mudah ketimbang mengumpulkan surat-surat Kartini yang tersebar ke mana-mana. Mengapa relatif mudah
? Karena alamat yang dituju jelas, yakni satu alamat kepada Kartini dan dirumah
Kartini atau Bupati Jepara atau kalau pindah ke alamatnya ke Bupati Rembang.
Apalagi, pengumpul dan pengedit surat Kartini adalah Abendanon yang sangat
dekat bukan hanya dengan ayah Kartini, bupati Jepara, tetapi juga kepada
saudari-saudarinya juga dan suaminya. Bukankah lebih mudah ketimbang meminta
surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar atau lainnya yang tersebar ke
mana-mana.
Apalagi,
surat-surat Kartini sendiri sudah menjadi bagian dari publik sendiri. Artinya,
dikenal dan dimengerti isinya oleh publik berkat jasa usaha Abendanon. Lantas,
bukankah surat-surat Abendanon sendiri dan yang lainnya juga bukan lagi menjadi
rahasia pribadi. Mungkin, surat-surat ini tidak menjadi perhatian Abendanon
ketika mengumpulkan dan mengedit secara cermat surat-surat Kartini untuk
kepentingan publikasi. Padahal, surat-surat Kartini bisa dipahami dengan tepat
bila ada konteks dekatnya, yaitu pertanyaan atau jawaban dari korespondensi
kepada sahabat-sahabantya itu.
Pertanyaan-pertanyaan sahabat-sahabat pena itu menjebak atau memang sebagai
sahabat, bisa kelihatan bila surat-surat itu dipublikasikan atau dibaca seperti
Kartini membacanya.
Mungkin
konteks yang lebih luas seperti digambarkan oleh Dr. Joost Coté, terlampau jauh
dan luas sehingga bisa jadi malah mengaburkan konteks dekatnya sendiri, yaitu korespondensi
dari sahabat-sahabat Kartini sendiri bagaimana. Kalau, konteks dekat ini
diketahui, lalu bisa dilihat konteks-konteks jauhnya seperti apa.
Kalau
kita bisa membaca korespondensi sahabat-sahabat Kartini itu, lalu sebagian
besar pergulatan batin Kartini dan faktor-faktor lingkungannya lebih bisa
dipahami terrmasuk rasa putus asanya dan kebimbangannya. Termasuk juga
bagaimana Kartini berada dalam titik kritis dalam kekuatan besar tarik menarik
pada zamannya seperti dituliskan Dr. Joost Coté yang menjadi konteks jauhnya.
Aku
Buku
terjemahan Vissia Ita Yulianto ini bila dibandingkan dengan terjemahan Sulastin
Sutrisno dalam Surat-Surat Kartini :
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya (1979) khususnya tetang surat-surat
kepada Stella Zeehandelaar, secara umum tidak berbeda banyak secara substansial
(maknawinya) selain gaya bahasa dan cara penyajian karena faktor terjemahan.
Meskipun
demikian, ada perbedaan penting yang perlu ditelaah. Terjemahan Vissia Ita
Yulianto, konsisten menerjemahkan si penulis surat (Kartini) dengan “aku”. Sedangkan
Sulastin Sutrisno, konsisten menerjemahkannya dengan “saya”. Vissia Ita
Yulianto tidak pernah menyebut kata ‘saya’ dalam terjemahan kecuali dalam
catatan belakang no. 10 (hal.189). Dikatakan
dalam catatan itu “Kartini memilih menggunakan kata ‘kami’ dari pada ‘saya’.
Dia memakai kata ganti orang ketiga tunggal mungkin untuk menghindari kesan
menonjolkan diri.” Menjadi aneh catatan belakang itu karena kedua kata itu
sangat berebeda sekali. ‘Kami’ adalah kata ganti orang pertama jamak, sedangkan
‘saya’ adalah kata ganti orang pertama tunggal. Jadi, bukan kata ganti orang
ketiga jamak seperti dikatakan catatan belakang itu. Kata ganti orang ketiga
jamak adalah kata ‘mereka’ dan kata ganti orang ketiga tunggal adalah kata
‘dia’ atau ‘ia’. Tetapi dari konteks (hal. 11) penyebutan ‘kami’ tidak begitu
aneh karena Kartini menyebut orang Jawa dan ia adalah bagian dari orang jawa
yang banyak itu, jadi menyebutnya dengan ‘kami’. Jadi, bukan masalah mau
menghindari kesan menonjolkan diri atau tidak.
Arti
kedua kata ‘aku’ dan ‘saya’ tidak begitu berbeda sebagai kata ganti orang pertama
tunggal. Tapi, konsistensi “aku” pada Vissia Ita Yulianto dan “saya” pada
Sulastin Sutrisno, menyiratkan konsep dan pemaknaan yang berbeda pula di
samping penekanan-penekanan yang berbeda. Kata “aku” sepertinya menunjuk ke
hal-hal yang pribadi sifatnya disertai dengan keyakinan dan kehendak yang kuat.
Sementara kata “saya” diturunkan dari “sahaya” tampak kurang menunjukkan
individualitas dan “persona”.
Perbedaan-perbedaan
penting lainnya yang tampak adalah adanya banyak sisipan alenea atau
kalimat-kalimat yang dalam terjemahan Sulastin Sutrisno tidak ada. Ini terjadi
misalnya, pada halaman 81 dalam alenea kedua yang berbicara soal editor majalah
Nederlandsche Tall yang didapat
secara gratis oleh Kartini. Halaman 85 dalam alenea ketiga yang diawali dengan
kalimat “Sementara Minjheer berbincang
dengan ayah, Mevrouw bersama kami...”
sampai halaman 86. Halaman 90 alenea kedua dimulai dengan kalimat “Mevrouw memberi tahuku bahwa dia sudah
lama merencanakan untuk mengunjungi kami di Jepara..” sampai halaman 91. Halaman
139 alenea pertama yang menjelaskan kakak Kartini R.M.P. Sosrokartono. Halaman
154 alenea ketiga sampai dengan halaman 156.
Terhadap
perbedaan ini, bisa dijelaskan bahwa Vissia Ita Yulianto menerjemahkan dari
terjemahan Bahasa Inggris dari Dr. Joost Coté. Sedangkan Sulastin Sutrisno
menggunakan buku Door Duisternis tot
Licht (bahasa Belanda) cetakan ke-4 (dan membandingkan dengan cetakan ke-2
yang isi suratnya sama, hanya kata pengantarnya yang berbeda). Sedangkan Dr.
Joost Coté dalam “Pengantar Edisi Bahasa Inggris”, tidak begitu secara
eksplisit mengacu pada sumber dari Door
Duisternis tot Licht yang sudah diedit ‘sangat cermat” itu atau sumber
lain. Ini mengandaikan ada sumber utama yang diacu Door Duisternis tot Licht sendiri, mungkin berupa
manuskrip-manuskrip yang lebih ‘lengkap’ dan ‘asli’ dari pada Door Duisternis tot Licht edisi asli.
Sedangkan dalam catatan kakinya Dr. Joost Coté menyebut sumber lainnya,
misalnya Kartini : Brieven aan mevrouw
R.M. Abendanon – Mandri en haar echenoot. Apakah sumber ini yang dimaksud
dengan sumber asli itu, tidak begitu dijelaskan.
Lalu
dari mana sisipan-sisipan itu ? Kalau mengacu pada yang asli apakah dulu tidak
bisa dibaca atau rusak, sekarang tiba-tiba menjadi dapat dibaca dan jelas ?
Biasanya, kertas semakin lama semakin rusak, dan tidak menjadi lebih baik,
apalagi sering dipakai, dibaca, dan dipegang.
Bisa
jadi, memang ada penyalinan-penyalinan terhadap surat-surat Kartini yang asli
itu untuk keperluan perbanyakan atau penyelamatan manuskrip-manuskrip itu.
Dalam penyalinan-penyalinan itu, wajar orang mengantuk sehingga kelewatan
kalimat-kalimatnya, atau jenuh sehingga kalimat-kalimatnya berulang; atau yang
menyalin sedang nglamun (bhs. Jawa)
sehingga tersisip kalimat-kalimat lain.Namun, ini bisa terjadi pada masa Abad
Pertengahan atau sebelumnya karena teknologi Guttenberg, yaitu percetakan, belum ada. Sedangkan di zaman Kartini
percetakan sudah marak di mana-mana. Kita bisa lihat misalnya majalah Hollandsche Lelie, atau De Echo atau jurnal Belang en Recht dan sebagainya.
Jadi, kecil kemungkinan terhadap munculnya berbagai macam versi Door Duisternis tot Licht. Yang lebih
mungkin terjadi adalah banyaknya cetakan atau edisi atau banyaknya terjemahan
ke dalam bahasa-bahasa lain, tetapi buku utamanya tetap Door Duisternis tot Licht.
Terjemahan
Vissia Ita Yulianto ini secara jelas mengacu pada terjemahan Dr. Joost Coté.
Tapi Dr. Joost Coté sendiri tidak secara eksplisit menerjemahkan dari edisi
yang mana. Dan, kalau ada sisipan-sisipan itu diambil dari sumber yang sama
atau sumber lain dan digabungkan menjadi satu, kita tidak mendapat gambaran
detailnya.
Berkaitan
dengan ini, misalnya menjadi pertanyaan surat Kartini kepada Stella zeehandelaar
terjemahan Vissia Ita tanggal 13 Januari 1900 (hal. 35 – 68). Dalam terjemahan
sulastin Sutrisno, surat yang semakna ini tertanggal 12 Januari 1900 (hal. 24 –
38). Apakah Kartini menulis dua surat dengan isi yang sama dan alamat yang sama
tetapi di hari yang berbeda karena tanggalnya berbeda ? Atau sebenarnya hanya
satu surat saja. Tapi, lantas mana yang benar tanggal 12 Januari 1900 atau
tanggal 13 Januari 1900? Atau, ini hanya salah tulis atau ketik saja ? Kalau
sumber yang ditunjuk jelas, maka tidak menjadi masalah dalam pelacakannya.
Atau
masalah lain, misalnya, surat Kartini tanggal 24 Oktober (tanpa tahun). Dalam buku Vissia Ita terdapat dalam halaman
126 – 138. Sedangkan dalam buku Sulastin Sutrisno, surat tertanggal itu kepada
Stella Zeehandelaar terkesan tidak ada. Padahal, menjadi satu bagian dari surat
tertanggal 11 Oktober 1901.
Munculnya
surat tanggal 24 Oktober ini kemudian terkesan baru. Padahal sudah ada dalam
cetakan ke-4 atau ke-2 dari Door
Duisternis tot Licht yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno, yaitu terdapat
pada halaman 135 (alenea ke-5) sampai halaman 142. Apakah ini menjadi bagian
dari surat tanggal 11 Oktober 1901 yang dikirim bersama atau terpisah, tidak
begitu jelas.
Kalau
ini jelas, mungkin kita bisa membayangkan bagaimana cara Kartini berkirim surat
dan menulis. Apakah ia mengendapkan apa yang dituliskannya terlebih dulu,
kemudian melanjutkan lagi begitu mendapat inspirasi dan kemudian membacanya
lagi dan mengoreksi kembali sebelum mengirimkannya. Ataukah, ia begitu mendapat
ide menuliskannya dan langsung mengirimkannya tanpa dipertimbangkan atau dibaca
kembali atau dikoreksi dan tahu-tahu ada masalah yang terjadi di luar
kendalinya.
Dari
hal-hal yang digambarkan di atas, maka surat-surat Kartini bisa dipahami lebih jelas
seandainya surat-surat korespondensinya dari sahabat-sahabatnya itu
dipublikasikan juga (kalau ada atau tidak hilang) karena berada dalam satu
alamat yang jelas dan bukannya tersebar seperti tulisan-tulisan Kartini sendiri
yang tersebar ke mana-mana. Dan, bila hal itu kita dapat membacanya, maka tentu
akan lebih menarik lagi.
Selamat
membaca. (Daniel Setyo Wibowo)