Kamis, 20 April 2017

Kartini Di Tengah Pusaran Eksotisme Timur



 
Data Buku



Judul                           : Aku Mau : Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar)

Judul Asli               : On Feminism and Nationalism : Kartini’s Letters to Stella Zeehandelaar 1899 – 1903

Alih Bahasa          : Vissia Ita Yulianto

Kata Pengantar  : Goenawan Mohamad

Pengantar Edisi Bahasa Inggris          : Dr. Joost Coté

Penerbit                    : Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Univ. Sanata Dharma Yogyakarta dan
                                            Penerbit Buku Kompas

Tahun                         : 2004

Tebal                            : 227 halaman  +  lxxiv ;  12  x  18 cm

ISBN                             : 979-3239-09-3





            Membaca surat-surat Kartini, selalu menarik. Ia melukiskan pergolakan batin seorang ramaja yang dilingkupi konteks zamannya. Dan, Kartini berada pada pusaran arus zaman itu. Ia anak seorang bupati (sistem feodalistik), proyek politik etis yang digencarkan oleh Belanda termasuk realisasinya pendirian pabrik opium (candu) terbesar yang setidaknya diwakili sosok politikus piawai dan ahli hukum yang kemudian menjadi Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Mr. J.H. Abendanon dan isterinya Mandri, aliran feminisme di negeri Belanda sendiri yang diwakili misalnya Stella Zeehandelaar yang menjadi sahabat penanya, kekolotan penduduk pribumi dengan maraknya candu, poligami, kemiskinan, wabah pes, dan sebagainya.
            Sementara semangat zaman waktu itu adalah eksplorasi dunia Timur oleh Barat. Dunia Timur begitu mempesona. Bukan hanya karena garam, candu, kapur barus, atau rempah-rempah, mereka berdatangan ke bumi pertiwi. Mereka berpetualang karena ketertarikan atas ketelanjangan dada putri-putri Bali, perburuan harimau atau petualangan di Sumatera yang mereka kerap dengar atau baca, tergila-gilanya para raja Jawa pada “kebulean” sebagai suatu simbul wahyu keraton, atau kisah mengerikan para istri bangsawan Bali yang melakukan pati obong .dalam suatu upacara. Gelombang orang-orang dari dunia Barat berdatangan karena semangat eksotisme Timur. Tulisan-tulisan atau cerita tentang atau dari Timur begitu memukau para petualang Barat ini.
            Dalam konteks itu, pengumpulan surat-surat Kartini oleh JH Abendanon dan penerbitannya menjadi buku Door Duisternistot Licht dengan antusias diapresiasi luar biasa di dunia Barat : Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika. Eksotisme Timur begitu memukau.
            Antusiasme Barat terhadap Kartini tidak surut sampai hari ini. Beberapa waktu yang lalu (13 – 31 Maret 2017) diadakan pameran foto bertema “Jejak Langkah Seorang Raden Ajeng : Reflection on RA Kartini” di Erasmus Huis Jakarta. Kurator Tracy Wright Webster dari University of Western Australia, menampilkan 26 foto yang diseleksi dari 75 foto tentang Kartini koleksi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-Landen Volkenkunde / Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda) (Kompas, Minggu, 26 Maret 2017). Mereka mendokumentasi dengan rapi. Mereka merawat pesona dunia Timur lewat sosok Kartini.
            Bagaimana dengan bangsa Indonesia sendiri mengeksplorasi dirinya sendiri lewat tokoh Kartini yang konon ekplorasinya lebih bersifat inward looking dari pada outward looking ? Bagaimana ini memahami tulisan-tulisan Kartini sendiri ? Apakah tersimpan koleksi surat-surat dari sahabat-sahabat pena Kartini agar dapat memahami tulisan kartini sendiri? Ataukah semua raib, meski rumah Kartini di Jepara kini menjadi pusat perhatian ?
            Membaca buku Aku Mau : Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar) (2004) hasil terjemahan Vissia Ita Yulianto, dalam konteks zamannya yang bergejolak semangat eksotisme Timur, membuat segar kembali.

Gadis Polos
            Seorang gadis remaja polos yang menginjak dewasa seperti Kartini mencoba menanggapi masalah-masalah disekelilingnya termasuk permasalahannya sendiri seperti ingin mendapat pendidikan yang lebih baik, tidak harus kawin, pingitan, dan sebagainya. Pendiriannya dan perjalanan hidupnya menggebu-gebu pada awalnya ingin ke Barat (Belanda atau Batavia) untuk mengenyam pendidikan yang baik agar bisa digunakan mendidik bangsanya. Namun, arus yang dilawannya tampaknya terlalu kuat sehingga harus merelakan proyek hidupnya mengejar cita-citanya berbalik arah, tidak ke Barat, tetapi ke Timur. Maksudnya, ke Rembang, menjadi istri Bupati Rembang, Raden Adipati Djojo Adiningrat yang sudah mempunyai enam orang anak.
            Pemerintah (Belanda) sendiri memang pada akhirnya mengabulkan permintaan bantuan pendanaan untuk pendidikan Kartini dan saudari-saudarinya, tetapi Kartini sendiri menginginkan agar yang berangkat dan menempuh pendidikan bukan dirinya, tetapi orang lain, yaitu seorang pemuda dari Riau yang bernama Salim (kemudian dikenal Haji Agus Salim). Apa yang menggebu-gebu dikejarnya, tetapi setelah hampir memperolehnya terpaksa harus dilepaskan. Ia sendiri lebih memilih untuk kawin dengan Bupati Rembang itu dari pada mengejar cita-cita dan mendidik masyarakat dan bangsanya. Padahal, pendidikan itu yang selalu diperjuangkan sejak awal disamping penentangannya terhadap candu dan poligami.
            Pergulatan batin dan faktor-faktor eksternal termasuk bujukan-bujukan itulah yang setidaknya terlihat ketika kita membaca surat-surat Kartini sehingga ia memutuskan ke Rembang menjadi Raden Ayu Djojo Adiningrat seperti disebut oleh sahabat penanya Est. H. Harthalt – Zeehandelaar dalam Belang En Recht, vol 9, No. 194, 11 November 1904 ketika mendengar meninggalnya Kartini. Ini berbeda sekali dengan misalnya surat Kartini yang bersemangat agar minta disebut sebagai Kartini saja tanpa embel-embel gelar, “...panggil saja aku Kartini – itu namaku.”
            Dalam konteks itulah, penerjemahan kembali Surat-surat Kartini selalu menarik, seperti dilakukan Vissia Ita Yulianto dalam Aku Mau : Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar). Apa yang menjadi pergulatan batin Kartini menanggapi lingkungan eksternalnya dan bagaimana lingkungannya mempengaruhi, memperdalam, mengombang-ambingkan pendiriannya, ingin diperlihatkan dalam tulisan kecil ini.
            Tulisan kecil ini ingin melihat hubungan itu dari sisi bentuknya. Jadi, bukan materi dan ide-ide yang memang sudah banyak dibahas dan disampaikan berbagai macam tulisan, termasuk oleh Vissia Ita Yulianto dalam catatan penerjemah, Dr. Joost Coté, Cora Vreede de Stuers, dan masih banyak lagi.
            Sebenarnya, Goenawan Mohamad dalam Pengantar buku ini juga melihat dari sisi bentuk ini, yaitu sebagai suatu korespondensi yang berada di antara catatan harian (seperti dilakukan Anne Frank dengan catatan hariannya) dan media massa. Dari bentuk korespondensi yang berada di tengah-tengah ini, lalu Goenawan Mohamad menuju ide utamanya, yaitu persona. Kartini sebuah persona.

Kritik
            Namun, Goenawan Mohamad tidak membedakan lebih jauh apakah korespondensi itu sifatnya pribadi atau publik dan resmi. Surat Kartini kepada pemerintah misalnya tanggal 24 Agustus 1903 atau “Nota R.A. Kartini kepada Pemerintah; Lampiran Surat Permohonan Tertanggal 19 April 1903 adalah jelas masuk wilayah publik dan resmi. Jadi, publik berhak mengetahui. Siapa saja boleh membaca dan mengetahuinya.
            Sementara surat kepada Stella Zeehandelaar juga jelas merupakan surat pibadi dari dua orang sahabat. Tidak boleh sembarang orang mencampuri atau mengetahui begitu saja tanpa merusakkan hubungan persahabatan yang terjalin itu. Lalu, ini menjadi masalah bila sudah menjadi konsumsi publik dan politik. Jadi, wajar dan bahkan menjadi kewajiban bagi Stella tidak “menyerahkan” beberapa surat Kartini untuk keperluan publikasi seperti dikatakan Dr. Joost Coté meskipun untuk alasan kepentingan politik etis atau “demi kepentingan umum”. Dia wajib melindungi persahabatannya.
            Justru yang membingungkan adalah surat-surat Kartini kepada Mr. J.H. Abendanon yang juga mengedit dan menerbitkan surat-surat Kartini itu. Ini termasuk surat pribadi atau sifatnya publik atau resmi. Di sinilah letak kepolosan seorang remaja seperti Kartini, sangat kelihatan. Ia menganggap semua orang sahabatnya, atau ibunya, atau bapaknnya, atau pamannya (Dr. N. Adriani), seperti layaknya remaja yang baru pertama kali mengenal dunia : semua orang baik, semua orang membantunya, dan semua orang mendukungnya. Atau seperti seorang puteri yang dikurung di kastil yang menunggu ada pangeran yang membebaskannya.
            Dari sisi Kartini, surat kepada Abendanon dan isterinya misalnya jelas adalah surat pribadi karena ia menganggapnya sebagai ayah dan ibunya. Sedangkan dari pihak J.H. Abendanon-Mandri tentu lain karena ia sekaligus berperan sebagai Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan. Hubungan Kartini bisa masuk pribadi juga bisa masuk sebagai publik atas nama politik etis. Kartini tidak hanya dilihat sebagai “anak” tetapi juga bisa dianggap sebagai “klien” dan “proyek” misalnya untuk menentukan program pendidikan dalam politik etis atau pendirian pabrik candu di kawasan Salemba yang terbesar di Asia bahkan dunia. Kita ingat Stella dan Kartini sangat menentang candu justru dalam surat dan semangat pertamanya. Bagi Abendanon, sikap terhadap gadis polos Kartini ini adalah sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
            Di samping itu, bagaimana memahami Kartini sebagai persona seperti dimaksudkan Goenawan Mohamad, jika yang kita kenal hanya surat-surat sepihak dari Kartini sementara surat-surat Abendanon, Stella Zeehandelaar, N. Adriani, Ir.H.H. van Kol dan nyonya J.M.P van Kol, Nyonya M.C.E. Ovink, Prof. Dr. G.K Anton atau Nyonya H. G. De  Booy tidak pernah dipublikasikan. Padahal, normalnya mengumpulkan surat-surat ini relatif lebih mudah ketimbang mengumpulkan surat-surat Kartini yang tersebar ke mana-mana. Mengapa relatif mudah ? Karena alamat yang dituju jelas, yakni satu alamat kepada Kartini dan dirumah Kartini atau Bupati Jepara atau kalau pindah ke alamatnya ke Bupati Rembang. Apalagi, pengumpul dan pengedit surat Kartini adalah Abendanon yang sangat dekat bukan hanya dengan ayah Kartini, bupati Jepara, tetapi juga kepada saudari-saudarinya juga dan suaminya. Bukankah lebih mudah ketimbang meminta surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar atau lainnya yang tersebar ke mana-mana.
            Apalagi, surat-surat Kartini sendiri sudah menjadi bagian dari publik sendiri. Artinya, dikenal dan dimengerti isinya oleh publik berkat jasa usaha Abendanon. Lantas, bukankah surat-surat Abendanon sendiri dan yang lainnya juga bukan lagi menjadi rahasia pribadi. Mungkin, surat-surat ini tidak menjadi perhatian Abendanon ketika mengumpulkan dan mengedit secara cermat surat-surat Kartini untuk kepentingan publikasi. Padahal, surat-surat Kartini bisa dipahami dengan tepat bila ada konteks dekatnya, yaitu pertanyaan atau jawaban dari korespondensi kepada sahabat-sahabantya itu. Pertanyaan-pertanyaan sahabat-sahabat pena itu menjebak atau memang sebagai sahabat, bisa kelihatan bila surat-surat itu dipublikasikan atau dibaca seperti Kartini membacanya.
            Mungkin konteks yang lebih luas seperti digambarkan oleh Dr. Joost Coté, terlampau jauh dan luas sehingga bisa jadi malah mengaburkan konteks dekatnya sendiri, yaitu korespondensi dari sahabat-sahabat Kartini sendiri bagaimana. Kalau, konteks dekat ini diketahui, lalu bisa dilihat konteks-konteks jauhnya seperti apa.
            Kalau kita bisa membaca korespondensi sahabat-sahabat Kartini itu, lalu sebagian besar pergulatan batin Kartini dan faktor-faktor lingkungannya lebih bisa dipahami terrmasuk rasa putus asanya dan kebimbangannya. Termasuk juga bagaimana Kartini berada dalam titik kritis dalam kekuatan besar tarik menarik pada zamannya seperti dituliskan Dr. Joost Coté yang menjadi konteks jauhnya.



Aku
            Buku terjemahan Vissia Ita Yulianto ini bila dibandingkan dengan terjemahan Sulastin Sutrisno dalam Surat-Surat Kartini : Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya (1979) khususnya tetang surat-surat kepada Stella Zeehandelaar, secara umum tidak berbeda banyak secara substansial (maknawinya) selain gaya bahasa dan cara penyajian karena faktor terjemahan.
            Meskipun demikian, ada perbedaan penting yang perlu ditelaah. Terjemahan Vissia Ita Yulianto, konsisten menerjemahkan si penulis surat (Kartini) dengan “aku”. Sedangkan Sulastin Sutrisno, konsisten menerjemahkannya dengan “saya”. Vissia Ita Yulianto tidak pernah menyebut kata ‘saya’ dalam terjemahan kecuali dalam catatan belakang no. 10 (hal.189).  Dikatakan dalam catatan itu “Kartini memilih menggunakan kata ‘kami’ dari pada ‘saya’. Dia memakai kata ganti orang ketiga tunggal mungkin untuk menghindari kesan menonjolkan diri.” Menjadi aneh catatan belakang itu karena kedua kata itu sangat berebeda sekali. ‘Kami’ adalah kata ganti orang pertama jamak, sedangkan ‘saya’ adalah kata ganti orang pertama tunggal. Jadi, bukan kata ganti orang ketiga jamak seperti dikatakan catatan belakang itu. Kata ganti orang ketiga jamak adalah kata ‘mereka’ dan kata ganti orang ketiga tunggal adalah kata ‘dia’ atau ‘ia’. Tetapi dari konteks (hal. 11) penyebutan ‘kami’ tidak begitu aneh karena Kartini menyebut orang Jawa dan ia adalah bagian dari orang jawa yang banyak itu, jadi menyebutnya dengan ‘kami’. Jadi, bukan masalah mau menghindari kesan menonjolkan diri atau tidak.
            Arti kedua kata ‘aku’ dan ‘saya’ tidak begitu berbeda sebagai kata ganti orang pertama tunggal. Tapi, konsistensi “aku” pada Vissia Ita Yulianto dan “saya” pada Sulastin Sutrisno, menyiratkan konsep dan pemaknaan yang berbeda pula di samping penekanan-penekanan yang berbeda. Kata “aku” sepertinya menunjuk ke hal-hal yang pribadi sifatnya disertai dengan keyakinan dan kehendak yang kuat. Sementara kata “saya” diturunkan dari “sahaya” tampak kurang menunjukkan individualitas dan “persona”.
            Perbedaan-perbedaan penting lainnya yang tampak adalah adanya banyak sisipan alenea atau kalimat-kalimat yang dalam terjemahan Sulastin Sutrisno tidak ada. Ini terjadi misalnya, pada halaman 81 dalam alenea kedua yang berbicara soal editor majalah Nederlandsche Tall yang didapat secara gratis oleh Kartini. Halaman 85 dalam alenea ketiga yang diawali dengan kalimat “Sementara Minjheer berbincang dengan ayah, Mevrouw bersama kami...” sampai halaman 86. Halaman 90 alenea kedua dimulai dengan kalimat “Mevrouw memberi tahuku bahwa dia sudah lama merencanakan untuk mengunjungi kami di Jepara..” sampai halaman 91. Halaman 139 alenea pertama yang menjelaskan kakak Kartini R.M.P. Sosrokartono. Halaman 154 alenea ketiga sampai dengan halaman 156.
            Terhadap perbedaan ini, bisa dijelaskan bahwa Vissia Ita Yulianto menerjemahkan dari terjemahan Bahasa Inggris dari Dr. Joost Coté. Sedangkan Sulastin Sutrisno menggunakan buku Door Duisternis tot Licht (bahasa Belanda) cetakan ke-4 (dan membandingkan dengan cetakan ke-2 yang isi suratnya sama, hanya kata pengantarnya yang berbeda). Sedangkan Dr. Joost Coté dalam “Pengantar Edisi Bahasa Inggris”, tidak begitu secara eksplisit mengacu pada sumber dari Door Duisternis tot Licht yang sudah diedit ‘sangat cermat” itu atau sumber lain. Ini mengandaikan ada sumber utama yang diacu Door Duisternis tot Licht sendiri, mungkin berupa manuskrip-manuskrip yang lebih ‘lengkap’ dan ‘asli’ dari pada Door Duisternis tot Licht edisi asli. Sedangkan dalam catatan kakinya Dr. Joost Coté menyebut sumber lainnya, misalnya Kartini : Brieven aan mevrouw R.M. Abendanon – Mandri en haar echenoot. Apakah sumber ini yang dimaksud dengan sumber asli itu, tidak begitu dijelaskan.
            Lalu dari mana sisipan-sisipan itu ? Kalau mengacu pada yang asli apakah dulu tidak bisa dibaca atau rusak, sekarang tiba-tiba menjadi dapat dibaca dan jelas ? Biasanya, kertas semakin lama semakin rusak, dan tidak menjadi lebih baik, apalagi sering dipakai, dibaca, dan dipegang.
            Bisa jadi, memang ada penyalinan-penyalinan terhadap surat-surat Kartini yang asli itu untuk keperluan perbanyakan atau penyelamatan manuskrip-manuskrip itu. Dalam penyalinan-penyalinan itu, wajar orang mengantuk sehingga kelewatan kalimat-kalimatnya, atau jenuh sehingga kalimat-kalimatnya berulang; atau yang menyalin sedang nglamun (bhs. Jawa) sehingga tersisip kalimat-kalimat lain.Namun, ini bisa terjadi pada masa Abad Pertengahan atau sebelumnya karena teknologi Guttenberg, yaitu percetakan, belum ada. Sedangkan di zaman Kartini percetakan sudah marak di mana-mana. Kita bisa lihat misalnya majalah Hollandsche Lelie, atau De Echo atau jurnal Belang en Recht dan sebagainya.  Jadi, kecil kemungkinan terhadap munculnya berbagai macam versi Door Duisternis tot Licht. Yang lebih mungkin terjadi adalah banyaknya cetakan atau edisi atau banyaknya terjemahan ke dalam bahasa-bahasa lain, tetapi buku utamanya tetap Door Duisternis tot Licht.
            Terjemahan Vissia Ita Yulianto ini secara jelas mengacu pada terjemahan Dr. Joost Coté. Tapi Dr. Joost Coté sendiri tidak secara eksplisit menerjemahkan dari edisi yang mana. Dan, kalau ada sisipan-sisipan itu diambil dari sumber yang sama atau sumber lain dan digabungkan menjadi satu, kita tidak mendapat gambaran detailnya.
            Berkaitan dengan ini, misalnya menjadi pertanyaan surat Kartini kepada Stella zeehandelaar terjemahan Vissia Ita tanggal 13 Januari 1900 (hal. 35 – 68). Dalam terjemahan sulastin Sutrisno, surat yang semakna ini tertanggal 12 Januari 1900 (hal. 24 – 38). Apakah Kartini menulis dua surat dengan isi yang sama dan alamat yang sama tetapi di hari yang berbeda karena tanggalnya berbeda ? Atau sebenarnya hanya satu surat saja. Tapi, lantas mana yang benar tanggal 12 Januari 1900 atau tanggal 13 Januari 1900? Atau, ini hanya salah tulis atau ketik saja ? Kalau sumber yang ditunjuk jelas, maka tidak menjadi masalah dalam pelacakannya.
            Atau masalah lain, misalnya, surat Kartini tanggal 24 Oktober (tanpa tahun).  Dalam buku Vissia Ita terdapat dalam halaman 126 – 138. Sedangkan dalam buku Sulastin Sutrisno, surat tertanggal itu kepada Stella Zeehandelaar terkesan tidak ada. Padahal, menjadi satu bagian dari surat tertanggal 11 Oktober 1901.
            Munculnya surat tanggal 24 Oktober ini kemudian terkesan baru. Padahal sudah ada dalam cetakan ke-4 atau ke-2 dari Door Duisternis tot Licht yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno, yaitu terdapat pada halaman 135 (alenea ke-5) sampai halaman 142. Apakah ini menjadi bagian dari surat tanggal 11 Oktober 1901 yang dikirim bersama atau terpisah, tidak begitu jelas.
            Kalau ini jelas, mungkin kita bisa membayangkan bagaimana cara Kartini berkirim surat dan menulis. Apakah ia mengendapkan apa yang dituliskannya terlebih dulu, kemudian melanjutkan lagi begitu mendapat inspirasi dan kemudian membacanya lagi dan mengoreksi kembali sebelum mengirimkannya. Ataukah, ia begitu mendapat ide menuliskannya dan langsung mengirimkannya tanpa dipertimbangkan atau dibaca kembali atau dikoreksi dan tahu-tahu ada masalah yang terjadi di luar kendalinya.
            Dari hal-hal yang digambarkan di atas, maka surat-surat Kartini bisa dipahami lebih jelas seandainya surat-surat korespondensinya dari sahabat-sahabatnya itu dipublikasikan juga (kalau ada atau tidak hilang) karena berada dalam satu alamat yang jelas dan bukannya tersebar seperti tulisan-tulisan Kartini sendiri yang tersebar ke mana-mana. Dan, bila hal itu kita dapat membacanya, maka tentu akan lebih menarik lagi. Selamat membaca. (Daniel Setyo Wibowo)

Kamis, 05 Januari 2017

Manusia Tidak Dilahirkan Untuk Membenci....






Sumber Buku : Perpustakaan Proklamator Bung Karno, Blitar

"Pluris est oculatus testis unus quam auriti decem"  [Satu orang saksi mata lebih bernilai dari pada sepuluh orang yang hanya menjadi pendengar (dari omongan orang lain) saja.] (Plautus, Truculentus 454)


            Membaca berita-berita keras (hardnews) tentang penghinaan martabat kemanusiaan lewat kekerasan brutal di Afrika Selatan, Rwanda, Myanmar, atau Indonesia baik yang diberitakan koran, radio, internet, maupun TV, dapat membuat antipati dan sikap masa bodoh bila tidak diiringi dengan kedalaman hati yang bening dan persaudaraan sejati. Bukan hanya antipati tetapi bisa juga ketakbermaknaan hidup dan nilai-nilainya. Mudahlah mencari jalan pintasnya, yaitu menutup mata dan telinga terhadap berita-berita itu atau mengganti channel acara-acara hiburan. Tapi, itu hanyalah pelarian belaka dari kepenatan hidup sehari-hari. Maka tidak heran, acara hiburan akan laku keras yang justru dapat menumpulkan kepekaan kita terhadap kemanusiaan kita.
            Bagaimana untuk kondisi para pencari berita-berita kekerasan sendiri ? Mungkin tingkat frustasi dan kepenatannya sangat tinggi karena tiap hari dipenuhi dengan melaporkan berita-berita yang tergolong keras. Atau bagaimana untuk para korban kekerasan itu sendiri ? Jauh lebih mendalam membekas, bukan hanya psikis semata semacam trauma, tetapi fisik juga jiwa.
            Ketika seorang jurnalis seperti Fergal Keane berada di tengah-tengah pertumpahan darah atau kerusuhan besar yang menginjak-injak nilai-nilai kemanusian di titik nadir, apa yang masih dapat dilakukan ? Yang pasti, dia akan memberitakannya dengan standar jurnalistik, hukum besi jurnalistik : obyektif, tidak memihak. Karena itulah kewajibannya. Karena itulah panggilannya. Caranya, ambil jarak baik terhadap peristiwa maupun orang-orang yang terlibat. Tanggung jawab profesionalitas memang menuntut demikian.
            Hasilnya bisa kita 'nikmati' melalui berita-berita baik di koran, radio, maupun TV. Namun, memahami kemanusian bukan melulu masalah objektif. Ia menyangkut segi-segi dalam, yaitu hati. Objektivitas memang sangat membantu dalam pemahaman, tetapi bukan satu-satunya yang menentukan. Di sinilah perlunya empati, bahasa hati, puisi, sastra, seni tanpa mengabaikan etika dan ilmu. Keterpaduan ketiganya membuat kejernihan.
            Membaca Letter to Daniel : Surat dari Seorang Ayah Kepada Anaknya, karya jurnalis kawakan Fergal Keane ini, keterpaduan itu terkuak dari halaman ke halaman. Mungkin ungkapan Antoine de St. Exupery yang dikutib Keane menggambarkan apa isi buku ini. “Hanya dengan hati, manusia dapat melihat dengan benar sebab apa yang esensial, justru tidak terlihat oleh mata.”
            Gaya penulisannya juga menunjukkan keterpaduan itu. Beberapa komentar memuji jurnalis Irlandia ini sebagai perpaduan gaya sastrawan handal Samuel Beckett (1906 – 1989) dan John M. Synge (1871 – 1909). Sementara dalam kata pengantarnya , Toeti Adhitama menyatakan gambaran yang disajikan utuh. Hal ini bukan karena pengamatan yang jeli dan pencurahan perasan dan pikiran dan gaya memikat. Tapi, selalu diadakan riset yang mendalam tentang pelbagai persoalan yang ditulisnya.

Tulisan Pribadi
            Buku ini merupakan kumpulan tulisan pribadi sang jurnalis selama 6 tahun bertugas di BBC. Karenanya, diakui Keane, kalau tulisan-tulisan ini terpisah dari tugas-tugas jurnalistiknya, termasuk analisisnya. Ini lebih merupakan cerminan dari keterikatan penulis dengan cerita dan orang-orang yang dijumpainya.
            Dari sisi isi, buku ini dibagi dalam empat bagian tematik. Bagian pertama berisi kehidupan keluarga, kerabat, dan sahabatnya di Irlandia termasuk awal karir jurnalistiknya di suatu koran daerah. Surat untuk Daniel, yaitu surat yang ditujukan kepada anaknya yang baru lahir di Hongkong di tengah-tengah tugasnya.
            Kelahirannya justru mengubah pandangan hidup Keane untuk menjalani kehidupan yang terkadang menggelincir ke pinggir tebing: kancah perang, bencana alam, kegelapan dalam segala bentuk dan wujudnya (h. 32). Tulisan inilah yang kemudian diangkat menjadi judul seluruh kumpulan tulisan ini.
            Bagian dua mengisahkan perjalanan dan tugasnya di Afrika seperti Zaire era Presiden Mobutu ketika masa kegelapan pergolakan berkecamuk. Bagian yang terpanjang, menarik, dan memuncak pada peristiwa-peristiwa di Afrika Selatan masa politik Apartheid.  Rekan kerja  dan sahabatnya John Harrison yang mempunyai keterikatan kuat bersamanya dengan sejarah Afrika Selatan, meninggal dunia karena kecelakaan.
            Bagian tiga dikisahkan situasi dan kondisi Asia. Yang menarik adalah keterikatan batin antara penulis dengan tokoh Myanmar Aun San Su Kyi. Dan, bagian akhir yang menjadi motivasi Keane bahwa manusia tak mungkin hidup sendiri.

Menarik
            Apa yang menarik dari buku ini bukanlah terletak pada gambarannya yang memang cermat dan mendetail tentang situasi, kondisi, dan peristiwa di suatu tempat-tempat konflik dan kekerasan. Akan tetapi, posisi keberpihakan Keane pada yang lemah dan korban. Pilihan itu bukan saja tanpa resiko dalam prakteknya, tetapi juga pada tulisannya yang dianggap tidak netral.
            Justru di situlah kekuatan buku ini sehingga bahasanya dikemas dengan apik, pilihan-pilihan tematiknya berangkat dari dalam. Hal ini tentu berakibat terhadap kehidupan pribadinya. Ketika dia menimang anaknya yang baru lahir, ia mengingatkan pada anak-anak lain dalam kondisi peperangan untuk melindunginya. Sebaliknya juga begitu, ketika seorang anak 10 tahun harus menggendong adiknya yang berumur 7 tahun di sekitar tembak-menembak tentara, membuat perhatian untuk melindunginya seperti melindungi anaknya sendiri.
            Ketika banyak penduduk Rwanda di bantai di dalam Gereja dengan parang dan pistol, atau seorang anak mati diparang dengan memeluk ibunyua kuat-kuat, rasa keagamaan, kemanusian, bergejolak. “Kembali saya bertanya dalam hati. Manusia macam apakah yang tega membunuh anak-anak ? Manusia tidak dilahirkan untuk membenci tetapi diajari untuk mencintai sesamanya. Manusia itu, seperti Anda dan saya” (hal. 281). Dan itulah kalimat terakhir buku ini. Mengingatkan apa yang juga diungkapkan seorang penyair yang terkenal dengan Divina Comedia-nya,  Dante Alighierii, Consider your origin, you were not born to live like brutes, but to follow virtue and knowledge. Pertimbangkan asal-usulmu, kamu tidak dilahirkan untuk  hidup seperti orang-orang kejam, tetapi untuk mengikuti keutamaan dan pengetahuan. Menarik.  Selamat membaca....

Daniel Setyo Wibowo