Sumber Buku : Perpustakaan Proklamator Bung Karno, Blitar
"Pluris est oculatus testis
unus quam auriti decem" [Satu
orang saksi mata lebih bernilai dari pada sepuluh orang yang hanya menjadi
pendengar (dari omongan orang lain) saja.] (Plautus, Truculentus 454)
Membaca berita-berita keras (hardnews) tentang penghinaan martabat
kemanusiaan lewat kekerasan brutal di Afrika Selatan, Rwanda, Myanmar, atau Indonesia
baik yang diberitakan koran, radio, internet, maupun TV, dapat membuat antipati
dan sikap masa bodoh bila tidak diiringi dengan kedalaman hati yang bening dan
persaudaraan sejati. Bukan hanya antipati tetapi bisa juga ketakbermaknaan
hidup dan nilai-nilainya. Mudahlah mencari jalan pintasnya, yaitu menutup mata
dan telinga terhadap berita-berita itu atau mengganti channel acara-acara
hiburan. Tapi, itu hanyalah pelarian belaka dari kepenatan hidup sehari-hari.
Maka tidak heran, acara hiburan akan laku keras yang justru dapat menumpulkan
kepekaan kita terhadap kemanusiaan kita.
Bagaimana untuk kondisi para pencari
berita-berita kekerasan sendiri ? Mungkin tingkat frustasi dan kepenatannya
sangat tinggi karena tiap hari dipenuhi dengan melaporkan berita-berita yang
tergolong keras. Atau bagaimana untuk para korban kekerasan itu sendiri ? Jauh
lebih mendalam membekas, bukan hanya psikis semata semacam trauma, tetapi fisik
juga jiwa.
Ketika seorang jurnalis seperti
Fergal Keane berada di tengah-tengah pertumpahan darah atau kerusuhan besar
yang menginjak-injak nilai-nilai kemanusian di titik nadir, apa yang masih
dapat dilakukan ? Yang pasti, dia akan memberitakannya dengan standar
jurnalistik, hukum besi jurnalistik : obyektif, tidak memihak. Karena itulah
kewajibannya. Karena itulah panggilannya. Caranya, ambil jarak baik terhadap
peristiwa maupun orang-orang yang terlibat. Tanggung jawab profesionalitas
memang menuntut demikian.
Hasilnya bisa kita 'nikmati' melalui
berita-berita baik di koran, radio, maupun TV. Namun, memahami kemanusian bukan
melulu masalah objektif. Ia menyangkut segi-segi dalam, yaitu hati. Objektivitas
memang sangat membantu dalam pemahaman, tetapi bukan satu-satunya yang
menentukan. Di sinilah perlunya empati, bahasa hati, puisi, sastra, seni tanpa
mengabaikan etika dan ilmu. Keterpaduan ketiganya membuat kejernihan.
Membaca Letter to Daniel : Surat dari Seorang Ayah Kepada Anaknya, karya
jurnalis kawakan Fergal Keane ini, keterpaduan itu terkuak dari halaman ke
halaman. Mungkin ungkapan Antoine de St. Exupery yang dikutib Keane
menggambarkan apa isi buku ini. “Hanya dengan hati, manusia dapat melihat
dengan benar sebab apa yang esensial, justru tidak terlihat oleh mata.”
Gaya penulisannya juga menunjukkan
keterpaduan itu. Beberapa komentar memuji jurnalis Irlandia ini sebagai
perpaduan gaya sastrawan handal Samuel Beckett (1906 – 1989) dan John M. Synge
(1871 – 1909). Sementara dalam kata pengantarnya , Toeti Adhitama menyatakan
gambaran yang disajikan utuh. Hal ini bukan karena pengamatan yang jeli dan
pencurahan perasan dan pikiran dan gaya memikat. Tapi, selalu diadakan riset
yang mendalam tentang pelbagai persoalan yang ditulisnya.
Tulisan Pribadi
Buku ini merupakan kumpulan tulisan
pribadi sang jurnalis selama 6 tahun bertugas di BBC. Karenanya, diakui Keane,
kalau tulisan-tulisan ini terpisah dari tugas-tugas jurnalistiknya, termasuk
analisisnya. Ini lebih merupakan cerminan dari keterikatan penulis dengan
cerita dan orang-orang yang dijumpainya.
Dari sisi isi, buku ini dibagi dalam
empat bagian tematik. Bagian pertama berisi kehidupan keluarga, kerabat, dan
sahabatnya di Irlandia termasuk awal karir jurnalistiknya di suatu koran
daerah. Surat untuk Daniel, yaitu surat yang ditujukan kepada anaknya yang baru
lahir di Hongkong di tengah-tengah tugasnya.
Kelahirannya justru mengubah
pandangan hidup Keane untuk menjalani kehidupan yang terkadang menggelincir ke
pinggir tebing: kancah perang, bencana alam, kegelapan dalam segala bentuk dan
wujudnya (h. 32). Tulisan inilah yang kemudian diangkat menjadi judul seluruh
kumpulan tulisan ini.
Bagian dua mengisahkan perjalanan
dan tugasnya di Afrika seperti Zaire era Presiden Mobutu ketika masa kegelapan
pergolakan berkecamuk. Bagian yang terpanjang, menarik, dan memuncak pada
peristiwa-peristiwa di Afrika Selatan masa politik Apartheid. Rekan kerja
dan sahabatnya John Harrison yang mempunyai keterikatan kuat bersamanya
dengan sejarah Afrika Selatan, meninggal dunia karena kecelakaan.
Bagian tiga dikisahkan situasi dan
kondisi Asia. Yang menarik adalah keterikatan batin antara penulis dengan tokoh
Myanmar Aun San Su Kyi. Dan, bagian akhir yang menjadi motivasi Keane bahwa
manusia tak mungkin hidup sendiri.
Menarik
Apa yang menarik dari buku ini
bukanlah terletak pada gambarannya yang memang cermat dan mendetail tentang
situasi, kondisi, dan peristiwa di suatu tempat-tempat konflik dan kekerasan. Akan
tetapi, posisi keberpihakan Keane pada yang lemah dan korban. Pilihan itu bukan
saja tanpa resiko dalam prakteknya, tetapi juga pada tulisannya yang dianggap
tidak netral.
Justru di situlah kekuatan buku ini
sehingga bahasanya dikemas dengan apik, pilihan-pilihan tematiknya berangkat
dari dalam. Hal ini tentu berakibat terhadap kehidupan pribadinya. Ketika dia
menimang anaknya yang baru lahir, ia mengingatkan pada anak-anak lain dalam
kondisi peperangan untuk melindunginya. Sebaliknya juga begitu, ketika seorang
anak 10 tahun harus menggendong adiknya yang berumur 7 tahun di sekitar
tembak-menembak tentara, membuat perhatian untuk melindunginya seperti
melindungi anaknya sendiri.
Ketika banyak penduduk Rwanda di
bantai di dalam Gereja dengan parang dan pistol, atau seorang anak mati
diparang dengan memeluk ibunyua kuat-kuat, rasa keagamaan, kemanusian,
bergejolak. “Kembali saya bertanya dalam hati. Manusia macam apakah yang tega
membunuh anak-anak ? Manusia tidak dilahirkan untuk membenci tetapi diajari
untuk mencintai sesamanya. Manusia itu, seperti Anda dan saya” (hal. 281). Dan
itulah kalimat terakhir buku ini. Mengingatkan apa yang juga diungkapkan
seorang penyair yang terkenal dengan Divina
Comedia-nya, Dante Alighierii, Consider your origin, you were not born to live like brutes, but to
follow virtue and knowledge. Pertimbangkan asal-usulmu, kamu tidak
dilahirkan untuk hidup seperti
orang-orang kejam, tetapi untuk mengikuti keutamaan dan pengetahuan.
Menarik. Selamat membaca....
Daniel
Setyo Wibowo