Kamis, 05 Januari 2017

Manusia Tidak Dilahirkan Untuk Membenci....






Sumber Buku : Perpustakaan Proklamator Bung Karno, Blitar

"Pluris est oculatus testis unus quam auriti decem"  [Satu orang saksi mata lebih bernilai dari pada sepuluh orang yang hanya menjadi pendengar (dari omongan orang lain) saja.] (Plautus, Truculentus 454)


            Membaca berita-berita keras (hardnews) tentang penghinaan martabat kemanusiaan lewat kekerasan brutal di Afrika Selatan, Rwanda, Myanmar, atau Indonesia baik yang diberitakan koran, radio, internet, maupun TV, dapat membuat antipati dan sikap masa bodoh bila tidak diiringi dengan kedalaman hati yang bening dan persaudaraan sejati. Bukan hanya antipati tetapi bisa juga ketakbermaknaan hidup dan nilai-nilainya. Mudahlah mencari jalan pintasnya, yaitu menutup mata dan telinga terhadap berita-berita itu atau mengganti channel acara-acara hiburan. Tapi, itu hanyalah pelarian belaka dari kepenatan hidup sehari-hari. Maka tidak heran, acara hiburan akan laku keras yang justru dapat menumpulkan kepekaan kita terhadap kemanusiaan kita.
            Bagaimana untuk kondisi para pencari berita-berita kekerasan sendiri ? Mungkin tingkat frustasi dan kepenatannya sangat tinggi karena tiap hari dipenuhi dengan melaporkan berita-berita yang tergolong keras. Atau bagaimana untuk para korban kekerasan itu sendiri ? Jauh lebih mendalam membekas, bukan hanya psikis semata semacam trauma, tetapi fisik juga jiwa.
            Ketika seorang jurnalis seperti Fergal Keane berada di tengah-tengah pertumpahan darah atau kerusuhan besar yang menginjak-injak nilai-nilai kemanusian di titik nadir, apa yang masih dapat dilakukan ? Yang pasti, dia akan memberitakannya dengan standar jurnalistik, hukum besi jurnalistik : obyektif, tidak memihak. Karena itulah kewajibannya. Karena itulah panggilannya. Caranya, ambil jarak baik terhadap peristiwa maupun orang-orang yang terlibat. Tanggung jawab profesionalitas memang menuntut demikian.
            Hasilnya bisa kita 'nikmati' melalui berita-berita baik di koran, radio, maupun TV. Namun, memahami kemanusian bukan melulu masalah objektif. Ia menyangkut segi-segi dalam, yaitu hati. Objektivitas memang sangat membantu dalam pemahaman, tetapi bukan satu-satunya yang menentukan. Di sinilah perlunya empati, bahasa hati, puisi, sastra, seni tanpa mengabaikan etika dan ilmu. Keterpaduan ketiganya membuat kejernihan.
            Membaca Letter to Daniel : Surat dari Seorang Ayah Kepada Anaknya, karya jurnalis kawakan Fergal Keane ini, keterpaduan itu terkuak dari halaman ke halaman. Mungkin ungkapan Antoine de St. Exupery yang dikutib Keane menggambarkan apa isi buku ini. “Hanya dengan hati, manusia dapat melihat dengan benar sebab apa yang esensial, justru tidak terlihat oleh mata.”
            Gaya penulisannya juga menunjukkan keterpaduan itu. Beberapa komentar memuji jurnalis Irlandia ini sebagai perpaduan gaya sastrawan handal Samuel Beckett (1906 – 1989) dan John M. Synge (1871 – 1909). Sementara dalam kata pengantarnya , Toeti Adhitama menyatakan gambaran yang disajikan utuh. Hal ini bukan karena pengamatan yang jeli dan pencurahan perasan dan pikiran dan gaya memikat. Tapi, selalu diadakan riset yang mendalam tentang pelbagai persoalan yang ditulisnya.

Tulisan Pribadi
            Buku ini merupakan kumpulan tulisan pribadi sang jurnalis selama 6 tahun bertugas di BBC. Karenanya, diakui Keane, kalau tulisan-tulisan ini terpisah dari tugas-tugas jurnalistiknya, termasuk analisisnya. Ini lebih merupakan cerminan dari keterikatan penulis dengan cerita dan orang-orang yang dijumpainya.
            Dari sisi isi, buku ini dibagi dalam empat bagian tematik. Bagian pertama berisi kehidupan keluarga, kerabat, dan sahabatnya di Irlandia termasuk awal karir jurnalistiknya di suatu koran daerah. Surat untuk Daniel, yaitu surat yang ditujukan kepada anaknya yang baru lahir di Hongkong di tengah-tengah tugasnya.
            Kelahirannya justru mengubah pandangan hidup Keane untuk menjalani kehidupan yang terkadang menggelincir ke pinggir tebing: kancah perang, bencana alam, kegelapan dalam segala bentuk dan wujudnya (h. 32). Tulisan inilah yang kemudian diangkat menjadi judul seluruh kumpulan tulisan ini.
            Bagian dua mengisahkan perjalanan dan tugasnya di Afrika seperti Zaire era Presiden Mobutu ketika masa kegelapan pergolakan berkecamuk. Bagian yang terpanjang, menarik, dan memuncak pada peristiwa-peristiwa di Afrika Selatan masa politik Apartheid.  Rekan kerja  dan sahabatnya John Harrison yang mempunyai keterikatan kuat bersamanya dengan sejarah Afrika Selatan, meninggal dunia karena kecelakaan.
            Bagian tiga dikisahkan situasi dan kondisi Asia. Yang menarik adalah keterikatan batin antara penulis dengan tokoh Myanmar Aun San Su Kyi. Dan, bagian akhir yang menjadi motivasi Keane bahwa manusia tak mungkin hidup sendiri.

Menarik
            Apa yang menarik dari buku ini bukanlah terletak pada gambarannya yang memang cermat dan mendetail tentang situasi, kondisi, dan peristiwa di suatu tempat-tempat konflik dan kekerasan. Akan tetapi, posisi keberpihakan Keane pada yang lemah dan korban. Pilihan itu bukan saja tanpa resiko dalam prakteknya, tetapi juga pada tulisannya yang dianggap tidak netral.
            Justru di situlah kekuatan buku ini sehingga bahasanya dikemas dengan apik, pilihan-pilihan tematiknya berangkat dari dalam. Hal ini tentu berakibat terhadap kehidupan pribadinya. Ketika dia menimang anaknya yang baru lahir, ia mengingatkan pada anak-anak lain dalam kondisi peperangan untuk melindunginya. Sebaliknya juga begitu, ketika seorang anak 10 tahun harus menggendong adiknya yang berumur 7 tahun di sekitar tembak-menembak tentara, membuat perhatian untuk melindunginya seperti melindungi anaknya sendiri.
            Ketika banyak penduduk Rwanda di bantai di dalam Gereja dengan parang dan pistol, atau seorang anak mati diparang dengan memeluk ibunyua kuat-kuat, rasa keagamaan, kemanusian, bergejolak. “Kembali saya bertanya dalam hati. Manusia macam apakah yang tega membunuh anak-anak ? Manusia tidak dilahirkan untuk membenci tetapi diajari untuk mencintai sesamanya. Manusia itu, seperti Anda dan saya” (hal. 281). Dan itulah kalimat terakhir buku ini. Mengingatkan apa yang juga diungkapkan seorang penyair yang terkenal dengan Divina Comedia-nya,  Dante Alighierii, Consider your origin, you were not born to live like brutes, but to follow virtue and knowledge. Pertimbangkan asal-usulmu, kamu tidak dilahirkan untuk  hidup seperti orang-orang kejam, tetapi untuk mengikuti keutamaan dan pengetahuan. Menarik.  Selamat membaca....

Daniel Setyo Wibowo