Data Buku
Judul :
Rakyat dan Negara
Penulis :
Onghokham
Penerbit: Penerbit Sinar Harapan
bekerjasama dengan LP3ES
Tahun :
1983 (cetakan pertama)
Tebal :
182 halaman
"Lewat
sejarah bisa mengenal dan memahami hubungan timbul balik antara masyarakat dan
negara" Onghokham.
Demikian
kata sejarawan yang gemar dengan dongeng, Onghokham almarhum. Seorang hedonis
makanan dan minuman (wine) sekaligus seorang 'gourmet' (ahli dalam mencicipi / menilai makanan) dan
antipati terhadap rokok atau kegiatan merokok.
Lewat
bukunya Rakyat dan Negara yang
sebenarnya berupa kumpulan artikel yang pernah diterbitkan di majalah Prisma, Horison, dan buku terbitan LIPI Masalah-masalah
Internasional Masa Kini. Buku ini sendiri sudah terbit 29 tahun yang lalu.
Boleh jadi orang mengatakan sudah tidak 'up
to date' atau daluwarsa. Tapi, ketika kita membacanya tidak terkesan
ketinggalan zaman. Justru sebaliknya yang terjadi meskipun banyak pemikiran dan
peristiwa hingga 2012 ini, kita diajak mengenal lebih dalam tentang orang
Indonesia dan keindonesiaan. Lewat sejarah, kita bisa mengenal dan memahami
hubungan timbal balik antara masyarkat dan negara, kata Onghokham.
Tidak
hanya itu, lewat sejarah kita mengenal diri kita melalui refleksi-refleksinya.
Sejarah bukan sekedar menyajikan fakta-fakta (meskipun sering dipakai penguasa
sebagai 'pembenaran' dan legitimasi pemerintah sehingga tidak jarang penulisan
sejarah yang dibelak-belokkan) Ia bisa menjadi sarana yang efektif dalam
pemahaman diri. Bagaimana ini bisa terjadi ?
Lewat
delapan artikel dalam buku ini, Onghokham menguakkan siapa diri kita, siapa
orang Indonesia, apa itu keindonesiaan. Artikel pertama, langsung menusuk
jantung masalah identitas kita, berjudul Sukarno
: Mitos dan Realitas. Di awal-awal tulisan ini, Onghokham menggugat
identitas kita. "Persoalannya kini bukan saja 'Siapakah Sukarno', tetapi
juga 'siapa sebenarnya kita dahulu dan siapa kita sekarang' ? Apa dahulu kita
yang munafik atau sekarang kita munafik ?", tegasnya.
Dengan
pendekatan historis terhadap Sukarno, Onghokham menemukan bahwa Sukarno dan
perjuangannya terhadap 'marhaen' (entrepreuneur kecil) berhadapan dengan "Establishment' ternyata berdiri
sendirian, tidak dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuangan yang sebanding.
Tidak Hatta, tidak juga Syahrir. Ia hanya memiliki sekutu-sekutu,
fraksi-fraksi, teman atau pengikut, dan para pengagum, tetapi bukan partner. Di
akhir karir politiknya pun, ia berdiri lagi. Tapi, lagi-lagi sendirian. Ia
ingin mencoba memberi arah pada jalannya revolusi, tetapi lagi-lagi sendirian.
Ia berdiri sendirian di tengah-tengah arus umum yang menentangnya.
Refleksi Seorang Peranakan
Artikel
kedua berjudul Refleksi Seorang Peranakan
Mengenai Sejarah Cina-Jawa, tidak sekedar menelaah bagaimana proses
adaptasi para pendatang Cina, dan sekaligus pembauran Cina-Jawa dengan para
pangeran Jawa, penduduk maupun VOC / Hindia Belanda. Terkadang proses itu
meninggalkan trauma-trauma, misalnya pembantaian orang-orang Cina pada tahun
1740 oleh Belanda, dan sebagainya.
Onghokham
melukiskan bahwa pada umumnya ketidaktentraman situasi Indonesia setelah
penjajahan telah lebih memperenggangkan ikatan masyarakat peranakan dari pada
membantu menempa solidaritas etniknya. Sementara warisan kolonial tambah
menimbulkan tanggapan tertentu. Semua ini memberi pesan pada pemuda Cina untuk
mempersiapkan dirinya berdiri atas kaki sendiri. Warisan yang sama ini
mengasingkan masyarakat peranakan dari politik Indonesia dari masalah-masalah
sosialnya. Perjuangan untuk kelangsungan hidup pribadi sebaliknya lebih
mendominasi orang-orang Cina dari permulaan abad ke-19.
Berbeda
dengan orang-orang Cina, nasib rakyat Jelata (wong cilik) pada umumnya lebih
buruk lagi berhadapan bukan hanya dengan VOC / Hindia Belanda, tetapi dengan
para penguasa lokal. Sistem pajak yang mencekik mempermiskin pada 'sikep'
(pemilik tanah) dengan 'pancasan' (pengurangan milik). Feodalisme sangat kuat;
munculnya golongan perantara (tussenpersonen),
'palang', dan banyaknya manipulasi oleh penguasa-penguasa setempat. Lalu, apa
yang dikembangkan adalah konsep ratu adil, suatu ideologi anti-negara yang
tidak ada kaitannya dengan anti kolonialisme ataupun nasionalisme.
"Seringnya pemberontakan-pemberontakan dan popularitas konsep Ratu Adil
menunjukkan adanya persoalan-persoalan fundamental dalam hubungan negara
kolonial dan rakyat. Konsepsi Ratu Adil sendiri tentunya hanyalah suatu ilusi
yang memuaskan perasaan-perasaan untuk bernegara, asal saja rajanya hanya dalam
impian," tegas Onghokham.
Lalu
bagaimana dengan karakter para pembesar di Indonesia ? Dalam tulisannya Sejarah Pembesar di Indonesia, Onghokham
menganalisis dan merefleksikan munculnya mesin birokrasi 'Beambtenstaat' (negara kepegawaian) yang tidak terlepas juga dari
mental hubungan-hubungan pribadi, sistem feodal aparatur raja yang meliputi
para priyayi dan orang kaya.
Pihak
VOC bisa memanfatkan struktur feodalisme tersebut untuk kepentingan Tanam
Paksa, sistem perkebunan kolonial dengan misalnya persen-persen Tanam Paksa (Kultur prcenten). Semua ini bisa terjadi
karena munculnya kekuatan VOC di Jawa bukanlah karena kemenangan-kemenangan
militer (penundukan dan pendudukan militer), tetapi karena
perjanjian-perjanjian dengan keraton atau penguasa-penguasa daerah seperti
bupati-bupati pesisir dan Priangan. Jadi, dengan kinclongnya bandul kalung emas
yang mengkilap saja, penguasa-penguasa kita (patron-patron) akan 'ngiler' dan membuat
perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat. Terintegrasinya penguasa-penguasa
Indonesia baik yang bersifat lokal (bupati) atau pusat (keraton) dengan
kekuasaan Belanda inilah yang menjadi bibit-bibit karakter pembesar kita.
Idealisme dan Emosi
Bagaimana
dengan para pemuda (yang sekarang dimaknai secara sempit sebagai mahasiswa yang
secara klise dikatakan agen perubahan), Onghokham menilai munculnya kekuatan
pemuda bukanlah khusus Indonesia, seperti munculnya "Gerakan 4 Mei"
di Cina. Apa yang menjadi ciri khas
pemuda adalah idealismenya. Inilah faktor yang menyebabkan mereke bergerak.
"Emosi-emosi yang besar ini justru menjadikan mereka sebagai umpan peluru
yang paling cocok dalam suatu revolusi. Khususnya bila idealisme dan emosi ini
tidak didukung oleh pengetahuan yang luas dan hanya berorientasi pada aksi tanpa
mencoba menjawab apa kedudukan dan fungsi mereka, dan sampai tingkat mana
perkembangan sejarah negara ini berada," kritik Onghokham.
Terhadap
kondisi sosial di Indonesia, pemuda memang berhak dan seharusnya prihatin.
Namun, kata Onghokham, energi ini sebaiknya diarahkan untuk mengetahui
persoalan-persoalan seperti generasi-generasi yang sebelumnya, yaitu para tokoh
pergerakan nasional dan kemerdekaan
Indonesia (Kenapa tidak angkatan 66, Onghokham menilai pada umumnya angkatan
ini mempunyai karakteristik yang sangat individualistik) "Harus diingat
bahwa umur belajar itu singkat dan harus dipergunakan seluruhnya. Suram sekali
kelihatnya nasib bangsa di kemudian hari bila pemuda hanya menjadi umpan peluru
serta sekadar bebas dari buta huruf." tegas Onghokham.
Refleksi
sejarah untuk mengenal diri sehingga memahami hubungan negara dan masyarakat,
dapat pula diarahkan pada seni dan sisi historis. Onghokham juga membuat suatu
refleksi yang menarik berjudul Proses
Kesenian Indonesia Dari Masa ke Masa. Apa yang menyolok perkembangan seni
ini adalah sifat komersialnya. Dengan berkesenian, bukan hanya sekedar ekspresi
diri, tetapi juga dapat keuntungan. Dan, tentunya bisa hidup dari kesenian itu.
Komersialisasi kesenian tidak perlu dipandang negatif, tetapi justru positif.
Ini memungkinkan perkembangan kesenian secara individual dan bahkan melepaskan
diri dari tradisi dan juga dari patron-patron tradisionalnya. Dengan demikian
kesenian Indonesia (dan senimannya) terkait dengan perkembangan kesenian dunia.
Terlepas
dari perkembangan itu, Onghokham mengingatkan tentang hubungan antara seni dan
masyarakatnya. Seniman bukan semata-mata seorang pencipta seni, melainkan juga
mengungkapkan apa yang hidup dalam masyarakatnya dan menyajikannya dalam
lukisan-lukisan atau pementasan-pementasan. Seniman perlu berfungsi sebagai
cendekiawan dalam masyarakat seperti halnya para penulis, akademisi, dan lain
sebagainya.
Buku
ini menarik dibaca karena di samping pengetahuan penulisnya yang luar biasa
luas dengan analisanya yang imajinatif dan cermat ini, juga orisinalitas yang
mencengangkan. Tidak jarang membaca buku ini kita tertampar, tetapi kita tidak
segera menutup buku. Ini bukan karena gejala masokis yang senang disakiti
karena merasa nikmat. Proses melihat diri, mengenal diri, refleksi diri memang
tidak jarang melalui proses yang pahit dan sakit. Kita tetap meneruskan karena
ada harapan di akhir nanti ada kebahagiaan dan bahkan penuh kebahagiaan.
Ini
lebih berharga ketimbang membaca buku yang menyanjung-sanjung kita, tidak
peduli menebar kebohongan dan memanipulasi serta rekayasa fakta, sehingga kita
terbuai dan lupa asal usul dan jati diri kita. Dan, pada akhirnya, kita jatuh
ke jurang dan anehnya merasa itu pilihan kita sendiri.
Pada
akhirnya, tamparan keras Onghokham ini akan bermanfaat bagi kita, bila kita
mengolahnya juga. Tapi, hanya berupa tamparan belaka (dan sakit) bila kita
tidak mengolahnya juga. Jadi,....selamat membaca (kembali) dan mengolahnya.
Daniel Setyo Wibowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar