Minggu, 13 November 2016

Dahulu Kita Yang Munafik Atau Kita Sekarang Yang Munafik ?



Data Buku

Judul    : Rakyat dan Negara

Penulis : Onghokham

Penerbit: Penerbit Sinar Harapan bekerjasama dengan LP3ES

Tahun   : 1983 (cetakan pertama)

Tebal    : 182 halaman


"Lewat sejarah bisa mengenal dan memahami hubungan timbul balik antara masyarakat dan negara" Onghokham.

            Demikian kata sejarawan yang gemar dengan dongeng, Onghokham almarhum. Seorang hedonis makanan dan minuman (wine) sekaligus seorang 'gourmet'  (ahli dalam mencicipi / menilai makanan) dan antipati terhadap rokok atau kegiatan merokok.
            Lewat bukunya Rakyat dan Negara yang sebenarnya berupa kumpulan artikel yang pernah diterbitkan di majalah Prisma, Horison, dan buku terbitan LIPI Masalah-masalah Internasional Masa Kini. Buku ini sendiri sudah terbit 29 tahun yang lalu. Boleh jadi orang mengatakan sudah tidak 'up to date' atau daluwarsa. Tapi, ketika kita membacanya tidak terkesan ketinggalan zaman. Justru sebaliknya yang terjadi meskipun banyak pemikiran dan peristiwa hingga 2012 ini, kita diajak mengenal lebih dalam tentang orang Indonesia dan keindonesiaan. Lewat sejarah, kita bisa mengenal dan memahami hubungan timbal balik antara masyarkat dan negara, kata Onghokham.
            Tidak hanya itu, lewat sejarah kita mengenal diri kita melalui refleksi-refleksinya. Sejarah bukan sekedar menyajikan fakta-fakta (meskipun sering dipakai penguasa sebagai 'pembenaran' dan legitimasi pemerintah sehingga tidak jarang penulisan sejarah yang dibelak-belokkan) Ia bisa menjadi sarana yang efektif dalam pemahaman diri. Bagaimana ini bisa terjadi ?
            Lewat delapan artikel dalam buku ini, Onghokham menguakkan siapa diri kita, siapa orang Indonesia, apa itu keindonesiaan. Artikel pertama, langsung menusuk jantung masalah identitas kita, berjudul Sukarno : Mitos dan Realitas. Di awal-awal tulisan ini, Onghokham menggugat identitas kita. "Persoalannya kini bukan saja 'Siapakah Sukarno', tetapi juga 'siapa sebenarnya kita dahulu dan siapa kita sekarang' ? Apa dahulu kita yang munafik atau sekarang kita munafik ?", tegasnya.
            Dengan pendekatan historis terhadap Sukarno, Onghokham menemukan bahwa Sukarno dan perjuangannya terhadap 'marhaen' (entrepreuneur kecil) berhadapan dengan "Establishment' ternyata berdiri sendirian, tidak dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuangan yang sebanding. Tidak Hatta, tidak juga Syahrir. Ia hanya memiliki sekutu-sekutu, fraksi-fraksi, teman atau pengikut, dan para pengagum, tetapi bukan partner. Di akhir karir politiknya pun, ia berdiri lagi. Tapi, lagi-lagi sendirian. Ia ingin mencoba memberi arah pada jalannya revolusi, tetapi lagi-lagi sendirian. Ia berdiri sendirian di tengah-tengah arus umum yang menentangnya.

Refleksi Seorang Peranakan

            Artikel kedua berjudul Refleksi Seorang Peranakan Mengenai Sejarah Cina-Jawa, tidak sekedar menelaah bagaimana proses adaptasi para pendatang Cina, dan sekaligus pembauran Cina-Jawa dengan para pangeran Jawa, penduduk maupun VOC / Hindia Belanda. Terkadang proses itu meninggalkan trauma-trauma, misalnya pembantaian orang-orang Cina pada tahun 1740 oleh Belanda, dan sebagainya.
            Onghokham melukiskan bahwa pada umumnya ketidaktentraman situasi Indonesia setelah penjajahan telah lebih memperenggangkan ikatan masyarakat peranakan dari pada membantu menempa solidaritas etniknya. Sementara warisan kolonial tambah menimbulkan tanggapan tertentu. Semua ini memberi pesan pada pemuda Cina untuk mempersiapkan dirinya berdiri atas kaki sendiri. Warisan yang sama ini mengasingkan masyarakat peranakan dari politik Indonesia dari masalah-masalah sosialnya. Perjuangan untuk kelangsungan hidup pribadi sebaliknya lebih mendominasi orang-orang Cina dari permulaan abad ke-19.
            Berbeda dengan orang-orang Cina, nasib rakyat Jelata (wong cilik) pada umumnya lebih buruk lagi berhadapan bukan hanya dengan VOC / Hindia Belanda, tetapi dengan para penguasa lokal. Sistem pajak yang mencekik mempermiskin pada 'sikep' (pemilik tanah) dengan 'pancasan' (pengurangan milik). Feodalisme sangat kuat; munculnya golongan perantara (tussenpersonen), 'palang', dan banyaknya manipulasi oleh penguasa-penguasa setempat. Lalu, apa yang dikembangkan adalah konsep ratu adil, suatu ideologi anti-negara yang tidak ada kaitannya dengan anti kolonialisme ataupun nasionalisme. "Seringnya pemberontakan-pemberontakan dan popularitas konsep Ratu Adil menunjukkan adanya persoalan-persoalan fundamental dalam hubungan negara kolonial dan rakyat. Konsepsi Ratu Adil sendiri tentunya hanyalah suatu ilusi yang memuaskan perasaan-perasaan untuk bernegara, asal saja rajanya hanya dalam impian," tegas Onghokham.
            Lalu bagaimana dengan karakter para pembesar di Indonesia ? Dalam tulisannya Sejarah Pembesar di Indonesia, Onghokham menganalisis dan merefleksikan munculnya mesin birokrasi 'Beambtenstaat' (negara kepegawaian) yang tidak terlepas juga dari mental hubungan-hubungan pribadi, sistem feodal aparatur raja yang meliputi para priyayi dan orang kaya.
            Pihak VOC bisa memanfatkan struktur feodalisme tersebut untuk kepentingan Tanam Paksa, sistem perkebunan kolonial dengan misalnya persen-persen Tanam Paksa (Kultur prcenten). Semua ini bisa terjadi karena munculnya kekuatan VOC di Jawa bukanlah karena kemenangan-kemenangan militer (penundukan dan pendudukan militer), tetapi karena perjanjian-perjanjian dengan keraton atau penguasa-penguasa daerah seperti bupati-bupati pesisir dan Priangan. Jadi, dengan kinclongnya bandul kalung emas yang mengkilap saja, penguasa-penguasa kita (patron-patron) akan 'ngiler' dan membuat perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat. Terintegrasinya penguasa-penguasa Indonesia baik yang bersifat lokal (bupati) atau pusat (keraton) dengan kekuasaan Belanda inilah yang menjadi bibit-bibit karakter pembesar kita.

Idealisme dan Emosi

            Bagaimana dengan para pemuda (yang sekarang dimaknai secara sempit sebagai mahasiswa yang secara klise dikatakan agen perubahan), Onghokham menilai munculnya kekuatan pemuda bukanlah khusus Indonesia, seperti munculnya "Gerakan 4 Mei" di  Cina. Apa yang menjadi ciri khas pemuda adalah idealismenya. Inilah faktor yang menyebabkan mereke bergerak. "Emosi-emosi yang besar ini justru menjadikan mereka sebagai umpan peluru yang paling cocok dalam suatu revolusi. Khususnya bila idealisme dan emosi ini tidak didukung oleh pengetahuan yang luas dan hanya berorientasi pada aksi tanpa mencoba menjawab apa kedudukan dan fungsi mereka, dan sampai tingkat mana perkembangan sejarah negara ini berada," kritik Onghokham.
            Terhadap kondisi sosial di Indonesia, pemuda memang berhak dan seharusnya prihatin. Namun, kata Onghokham, energi ini sebaiknya diarahkan untuk mengetahui persoalan-persoalan seperti generasi-generasi yang sebelumnya, yaitu para tokoh pergerakan nasional dan  kemerdekaan Indonesia (Kenapa tidak angkatan 66, Onghokham menilai pada umumnya angkatan ini mempunyai karakteristik yang sangat individualistik) "Harus diingat bahwa umur belajar itu singkat dan harus dipergunakan seluruhnya. Suram sekali kelihatnya nasib bangsa di kemudian hari bila pemuda hanya menjadi umpan peluru serta sekadar bebas dari buta huruf." tegas Onghokham.
            Refleksi sejarah untuk mengenal diri sehingga memahami hubungan negara dan masyarakat, dapat pula diarahkan pada seni dan sisi historis. Onghokham juga membuat suatu refleksi yang menarik berjudul Proses Kesenian Indonesia Dari Masa ke Masa. Apa yang menyolok perkembangan seni ini adalah sifat komersialnya. Dengan berkesenian, bukan hanya sekedar ekspresi diri, tetapi juga dapat keuntungan. Dan, tentunya bisa hidup dari kesenian itu. Komersialisasi kesenian tidak perlu dipandang negatif, tetapi justru positif. Ini memungkinkan perkembangan kesenian secara individual dan bahkan melepaskan diri dari tradisi dan juga dari patron-patron tradisionalnya. Dengan demikian kesenian Indonesia (dan senimannya) terkait dengan perkembangan kesenian dunia.
            Terlepas dari perkembangan itu, Onghokham mengingatkan tentang hubungan antara seni dan masyarakatnya. Seniman bukan semata-mata seorang pencipta seni, melainkan juga mengungkapkan apa yang hidup dalam masyarakatnya dan menyajikannya dalam lukisan-lukisan atau pementasan-pementasan. Seniman perlu berfungsi sebagai cendekiawan dalam masyarakat seperti halnya para penulis, akademisi, dan lain sebagainya.
            Buku ini menarik dibaca karena di samping pengetahuan penulisnya yang luar biasa luas dengan analisanya yang imajinatif dan cermat ini, juga orisinalitas yang mencengangkan. Tidak jarang membaca buku ini kita tertampar, tetapi kita tidak segera menutup buku. Ini bukan karena gejala masokis yang senang disakiti karena merasa nikmat. Proses melihat diri, mengenal diri, refleksi diri memang tidak jarang melalui proses yang pahit dan sakit. Kita tetap meneruskan karena ada harapan di akhir nanti ada kebahagiaan dan bahkan penuh kebahagiaan.
            Ini lebih berharga ketimbang membaca buku yang menyanjung-sanjung kita, tidak peduli menebar kebohongan dan memanipulasi serta rekayasa fakta, sehingga kita terbuai dan lupa asal usul dan jati diri kita. Dan, pada akhirnya, kita jatuh ke jurang dan anehnya merasa itu pilihan kita sendiri.
            Pada akhirnya, tamparan keras Onghokham ini akan bermanfaat bagi kita, bila kita mengolahnya juga. Tapi, hanya berupa tamparan belaka (dan sakit) bila kita tidak mengolahnya juga. Jadi,....selamat membaca (kembali) dan mengolahnya.

Daniel Setyo Wibowo




Tidak ada komentar: