Data Buku
Judul : Opium To Java; Jawa dalam
Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860 – 1910
Judul Asli : Opium To Java; Revenue
Farming And Chinese Enterprise in Colonial
Indonesia 1860-1910
Penulis : James R. Rush
Penerjemah : E. Setiyawati Alkhatab
Penerbit : MataBangsa
Tahun : 2000 (cet. Pertama)
Tebal : xx + 604 halaman
ISBN : 979-9471-00-1
Perih
di dalam dada melihat gambar dan membaca paparan buku ini tentang kondisi
korban-korban opium. Berdiri bulu kuduk mendengar penjelasan perilaku, sistem,
kultur, dan tradisi yang menciptakannya dan yang mendukungnya karena keuntungan
material semata dan hasrat menguasai (will
to power) belaka meskipun dibungkus dengan alasan-alasan etis.
Itu
kesan utama membaca huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat,
paragraf demi paragraf, dan bab demi bab (tetapi tidak jarang terlewatkan juga)
buku James R. Rush berjudul Opium To
Java; Jawa Dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860
- 1910 ini.
Opium
adalah nama lain dari produk narkotik yang dijual di Jawa dengan nama candu,
yaitu opium mentah yang disuling dan kemudian dicampur dengan penguat rasa dan
sejumlah bahan campuran lainnya. Sedangkan produk yang kualitasnya rendah dan
lebih murah disebut oleh orang Jawa sebagai tike.
Candu dihisap dengan badutan yang
sangat mahal harganya. Sedangkan tike
biasanya dicampur dengan daun awar-awar (ficus
septica) atau bisa dicampur dengan tembakau yang digulung dengan daun
jagung (klobot) sebagai rokok.
Yang
mengherankan, ternyata konsumsi candu di Jawa pada tahun 1882 sangat tinggi.
Diperkirakan satu dari dua puluh orang Jawa menghisap opium. Candu
diperjualbelikan bebas. Sebelum Belanda (VOC) menguasai dan memonopoli opium,
saudagar-saudagar Arab pun juga memperjualbelikan opium ini di Asia, termasuk
Jawa. Setelah berhasil berkuasa pada tahun 1677, Kompeni Hindia Timur Belanda
(VOC) membuat perjanjian dengan Raja Amangkurat II dari Jawa yang menjamin diberikannya
monopoli untuk mengimpor opium dan mengedarkannya di wilayah kerajaannya,
Mataram. Tidak lama kemudian, kerajan Cirebon bertindak hal yang sama.
Akhirnya, peredaran opium menyebar keseluruh Jawa, kecuali Priangan (Sunda) dan
Banten karena kuatnya penolakan ulama. Baru setelah dibuka toko-toko opium di
bawah Regi Opium, peredaran opium
juga melanda wilayah-wilayah ini.
Buku
karya James R Rush ini banyak menguraikan bagaimana Jawa berada dalam
cengkeraman bandar-bandar opium Cina
Cabang Atas, Regi Opium Belanda,
dan jaringan masing-masing dari pusat sampai ke pedesaan-pedesaan, termasuk
mata-mata bandar atau regi sampai peran pamong desa jagabaya, khususnya pada
masa kolonial pada paruh akhir abad
ke-19 hingga awal abad ke-20.
Di
puncak hierarki, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) mengimpor opium mentah dan
menarik pajak (cukai) untuk penjualannya. Ini dapat dilakukan karena Belanda
mempunyai hak monopoli perdagangan opium dan melelangnya kepada
syahbandar-syahbandar opium Cina Jawa. Syahbandar-syahbandar ini beroperasi
sesuai kontrak satu tahun atau tiga tahun. Dalam operasinya,
syahbandar-syahbandar ini mempunyai penjamin berupa kongsi dan mempunyai
jaringan ke bawah dan ke samping. Bandar-bandar ini adalah sebuah elite kecil
tetapi berkuasa, yang paling kaya, dan sukses. Inilah orang-orang Cina Cabang Atas dalam komunitas
orang-orang Cina Jawa.
Dianggap Wajar
Peredaran
opium sudah dianggap wajar dan biasa di Jawa, bahkan tidak jarang dipakai
sebagai obat misalnya penurun panas atau menahan sakit dan sebagainya.
Sebenarnya, pasar gelap opium tidak ada gunanya lagi karena peredaran resmi
saja sudah marak. Benarkah begitu ? Ternyata, peredaran opium di pasar gelap
justru ramai, mencapai 60 % dari perdagangan ke seluruhan di Jawa. Salah satu
penyebabnya, candu resmi harganya mahal. Tenaga-tenaga jasa keamanan syahbandar
yang disuruh mengawasi penjualannya di desa-desa karena takut persaingan dengan
para pengedar tidk resmi.
Bisa
dibayangkan, petani-petani sederhana dan miskin serta keluarganya dan masyarakat
pada umumnya semakin dipermiskin dengan sistem opium ini. Rasanya, sulit
dibayangkan kalau Jawa lepas dari konsumsi si mbok lara ireng ini. Dari mana
datangnya kesadaran untuk lepas dari
candu dan harapan hari esok lebih baik ? Apakah konsep ratu adil yang
memang marak di kalangan Jawa? Pasukan Diponegoro juga ada yang memakai candu
agar berani berperang. Dalam alenea
terakhir buku inipun, mengisyaratkan pesimisme tersebut. Untuk membiayai
perjuangan kemerdekaan pun, ternyata juga dibaiayai oleh pelelangan stok Regi Opium yang masih tersisa (hal.553).
Meskipun
demikian, selalu ada perlawanan dalam suatu kegelapan akibat opium itu. Kita
perlu mencari jejak-jejaknya untuk menumbuhkan optimisme yang bukan sekedar
membuai tetapi yang lebih realistik. Dari mana kita menemukan kesadaran itu ?
Dari
para syahbandar opium, jelas tidak mungkin. Dari pemerintah (Belanda), rasanya
juga sulit meskipun menempuh politik etis dan menganggap Hindia Belanda sebagai
'adik kandung'-nya sendiri yang perlu diangkat. Atau dari para priyayi Jawa
dalam pemerintah-pemerintah lokal seperti bupati, wedana, asisten wedana,
camat, demang, jagabaya ? Ini lebih sulit lagi di samping sistem feodal yang
sangat kuat, mereka mendapat cantolan kekuasannya pada pemerintahan Belanda
karena cantolan pada raja sudah longgar atau bahkan tidak ada lagi. Atau
mungkin kesadaran itu muncul dari pecandu opium itu sendiri yang selalu pergi
ke pondok-pondok opium di kota dan menghisap candu di bale-bale, berbaring
berselonjor kaki dengan badan setengah miring sambil melepas ikat kepala supaya
rambut hitam yang panjang tergerai di atas bantal bale-bale itu ? Sepertinya
juga tidak. Kalau demikian, jangan-jangan yang muncul justru Suluk Gatoloco (digambarkan sebagai kepala penis) yang ditulis seorang
priyayi mistik Jawa untuk mengolok-olok kaum muslim farisi selagi menghisap
candu.
Kesadaran
Kesadaran
itu bisa diharapkan, misalnya dari seorang bernama Multatuli alias Eduard
Douwes Dekker yang menulis Max Havelar sebagai novel politik bahkan dikenal
sebagai 'opium roman'. Novel itu menjadi semangat zamannya untuk berjuang.
Kesadaran itu juga bisa diharapkan dari sosok seperti M.T.H. Perelaer yang
melawan sistem opium ini dengan novel anti-opiumnya berjudul Baboe Dalima yang diterbitkan sekitar
tahun 1886 dalam bahasa Belanda. Tentu novel ini menusuk jantung pemerintahan
Belanda dan elit berkuasa di Belanda. Nama Isaac Groneman juga menyerukan
semangat yang sama anti-opium dengan novel Een
Ketjoegeschiedenis, Kisah Seorang Ketjoe (baca: kecu = rampok, bandit).
Tidak ketinggalan juga Pieter Brooshooft ujung tombak koran Semarang De Locomotief yang mengeluarkan petisi
dalam buku Memorie Over den toestana in
Indie (Memorandum tentang Keadaan di
Hindia).
Tidak
kalah menariknya dalam semangat anti-opium ini adalah RA Kartini dengan
surat-suratnya (Surat-Surat Kartini.
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya diterjemahkan Sulastin Sutrisno,
1979). Dalam surat pertamanya kepada Nona E.H. Zeehandelaar atau Nona Stella,
justru dia merasa prihatin terhadap kesengsaran bangsanya, Jawa. Ia menyebut
candu sebagai benda laknat (putri Jawa yang halus perasanya harus mengatakan
demikian). Penyakit sampar Jawa bukannya pes tetapi lebih dari pada pes, yaitu
candu.
Semangat
anti-opium yang memang kecil pada awalnya tetapi terus menggelinding makin
besar dan akhirnya membelok ke arah politik dan melahirkan Politik Etis. Apa yang
terjadi ketika Politik Etis itu menangkap semangat dan gelora anti-opium itu ?
Kita boleh ikut bersorak karena bandar-bandar opium dihapus. Tapi, ternyata
bandar-bandar opium itu hanya diganti dengan sistem Regi Opium yang tidak kalah
eksploitatifnya dibanding dengan bandar-bandar sebelumnya bahkan lebih
terang-terangan.
Akibatnya,
jaringan opium bandar-bandar Cina Cabang
Atas porak poranda. Tapi, dengan demikian malah muncul pengusaha-pengusaha
tangguh dan ulet dari kalangan Cina seperti Oei Tiong Ham dan generasi muda
Cina Jawa yang menjauhi opium. Sementara orang-orang Jawa tetap dicengkeram
opium di bawah Regi Opium. Bahkan
dengan semangat Politik Etis, Belanda
dengan bangga menunjukkan proyek etisnya berupa pabrik opium terbesarnya di
Batavia. Program pendidikan digalakkan di kalangan elite Jawa, tetapi hasilnya
kebanyakan diserap sebagai pegawai-pegawai Regi
Opium, mantri penjualan opium dan pembantu-pembantunya. Merekalah yang
bertugas menjual opium kepada bangsanya sendiri, saudara-saudaranya sendiri,
tetangga-tetangganya sendiri, teman-temannya sendiri.
Dengan
alasan moral, politik etis Belanda memang berhasil mengenyahkan bandar-bandar
opium yang sebenarnya adalah ciptaan Belanda sendiri. Sebagai gantinya,
penjualannya di tangan Belanda sendiri. Dengan demikian, keuntungannya
berlipat-lipat. Selain itu, kesadaran orang-orang Jawa di bawah kendalinya,
tanpa perlawanan yang berarti sampai berakhirnya kekuasaan Belanda sendiri
karena dipaksa Jepang.
Buku
ini merupakan penelitian James R. Rush dimulai di Yale University. Sungguh
sangat bermanfaat untuk mempelajari lebih lanjut tantangan-tantangan kini dalam
bentuk-bentuk barunya seperti narkotika dan yang lebih dekat dengan opium
adalah rokok. Belajar dari sistem-sistem dan kultur yang terjadi di masa lalu,
kita bukan hanya memetik hikmah saja tetapi lebih mampu memahami sistem yang
sekarang terjadi sehingga menyiapkan antisipasi yang mungkin akan terjadi di
masa depan. Itulah gunanya sejarah. Mengenal diri kita sendiri.
Terjemahan
ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit MataBangsa yang dilakukan E.Setiyawati
Alkhatab, juga perlu dilihat dalam konteks itu sehingga buku ini tidak hanya
menjadi milik elite intelektual di kantung-kantung lembaga universitas atau LSM
dan bahkan mungkin hanya diletakkan di gudang buku, tetapi juga dapat memberi
semangat publik. Dalam banyak hal, misalnya, buku ini juga mengacu sejarawan
seperti Onghokham. Dan, ia sosok anti-rokok (saudara sepupu candu) mulai di era
BPPC meskipun ia tetap hedonis masakan dan minuman.
Akhirnya,
meskipun buku James R. Rush ini diterbitkan dalam Bahasa Indonesia duabelas
tahun yang lalu, kiranya masih relevan untuk masa kini mengingat narkotika (dan
tentunya rokok) masih mencengkeram bangsa Indonesia. Selamat membaca.
Daniel Setyo Wibowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar