Judul : Percakapan Erasmus
Penulis : Desiderius Erasmus
Penerjemah : H. B. Jassin
Pendahuluan : J. Trapman
Penerbit
: Djambatan
Tahun :1985
Tebal : xviii + 246 halaman
Anton :
Tidak adakah yang ingat kepada Santo Kristoffel ?
Adolf :
Ada. Aku mendengar seseorang (dan aku tidak bisa menahan tawaku) yang berjanji
dengan suara nyaring supaya kedengaran Santo
Kristoffel yang berada di Katedral di Paris,
yaitu patung sebesar gunung. Bahwa ia akan memberinya lilin yang sama besarnya dengan patung itu. Seorang yang berdiri
di sampingnya, seorang kenalan baik yang mendengarnya
berteriak-teriak, menyenggolnya dari samping dan berkata memperingatkan, "Diam,
tolol..!" bisik orang yang bernazar itu (sebab tentu saja Santo Kristoffel tidak boleh mendengar apa yang
dikatakannya ini). "Kau kira aku akan menepati apa yang aku janjikan ? Sekali tiba di darat aku akan memberinya
lilin biasa saja," katanya.
Buku Percakapan
Erasmus ini buku jadul (jaman dulu) bukan saja terjemahannya ke dalam
bahasa Indonesia era 80-an. Sementara buku aslinya tahun 1518. Jadi, memang
sangat jadul. Tapi, apakah relevan bila dibaca saat kini yang hingar bingar dan
deras arus informasi ini tanpa jatuh pada semangat romantisisme belaka seperti
ditunjukkan era Romantik di Barat. Di situlah menariknya buku ini, yang masih
tetap memberi warna kemanusiaan apalagi untuk pendidikan. Ia tidak cepat lapuk
di makan usia jaman.
Kutiban
dialog di atas sebagai salah satu contohnya.
Dipetik dari Bab 'Kapal Karam'. Dalam
bab itu dikisahkan - dalam bentuk dialog antara Anton dan Adolf -
bagaimana sikap orang-orang ketika mendapati kapal yang ditumpanginya akan
hancur berantakan diterpa ombak besar. Hal ini terjadi seperti digambarkan film
Titanic atau di kehidupan sehari-hari dengan kondisi transportasi
seperti tenggelamnya kapal-kapal barang bekas yang disulap menjadi kapal
penumpang dan sebagainya.
Penumpangnya
akan dilemparkan ke puncak setinggi langit dan dihempaskan ke dasar oleh badai
dahsyat. Digambarkan pula di dalamnya bagaimana mereka dipaksa harus merelakan
barang-barang berharganya dilempar ke laut untuk mengurangi beban kapal dan
menyelamatkan nyawa.
Hal
itu belum seberapa. Yang lebih dahsyat adalah setelah semuanya habis, termasuk
tiang dan layar roboh dan ditelan lautan. Seluruh badan kapal retak dan dapat
dipastikan tenggelam dalam beberapa detik kemudian. Berbagai macam peristiwa
dan tingkah laku dikisahkan dalam kondisi demikian. Kadang konyol, lucu, atau
bahkan menggelitik. Mungkin ini tidak perlu ditertawakan karena memang suatu
tragedi. Dan, pada akhirnya memang harapan yang besar terletak pada pertolongan
Tuhan. Namun, sikap keagamaan itu berbagai macam bentuk dan
perwujudannya ketika situasi kritis terjadi. Dan, siapa yang akan sampai duluan
di pantai ? Atau siapa yang tenggelam ? Menarik...
Kritik Keras
Bab
'Kapal Karam' itu hanyalah satu bab dari 12 bab buku karya Erasmus ini. Buku
ini diterjemahkan almarhum HB Jassin dari terjemahan NJ. Singels Een
Twaalftal Samenspraken, dan Een Tweede Twaalftal Samenspraken’dan
juga terjemahan C. Sobry berjudul Een Derde Twaalftal Samenspraken.
Buku
ini awalnya diterbitkan tahun 1518 dengan judul Colluquia (Percakapan)
berbahasa Latin. Buku ini menuai kritik keras bukan hanya dari Gereja Katolik, tetapi
juga dari pihak tokoh reformis Gereja seperti Martin Luther.
Mengapa
buku ini begitu menuai kritik keras dari kalangan Gereja ? Lepas bagaimana Gereja menyikapinya,
buku ini memang bisa membuat telinga tokoh-tokoh Gereja merah dan lantas marah.
Bagaimana kebiasaan-kebiasaan para biarawan seperti Fransiskan, Karmelit,
Dominikan, dan Agustinian dibeberkan. Termasuk di dalamnya bagaimana motivasi
seseorang masuk suatu biara untuk menjadi biarawan dalam bab ‘percakapan orang
tua-tua”
Lebih
dari pada itu, perang ketiga raja, yaitu Karel V, Kaisar Roma yang suci,
Francis I (raja Perancis) dan Henry V, Kaisar Roma yang suci, Fransiskan I
(Raja Prancis) dan Henry VIII (raja Inggris) seakan-akan itu semua karena
perintah Tuhan. Para Raja itu berperang karena dihasut oleh pastor atau pendeta
atau biarawan yang dengan penuh tipu daya dan mengejar keuntungan semata dan
karena itu mereka di mana-mana, mencoba menimbulkan pertikaian dan peperangan.
Itu semua dikisahkan dalam dialog antara Karon dan Alastator dalam bab ‘Karon,
Tukang Tambang ke Dunia Roh.’
Dalam
berperang itu, seperti diuraikan J Trapman dalam pendahuluan, tiap pihak yang
berperang mengira Tuhan berada di pihaknya. Hal inilah yang justru ditentang
Erasmus. “Baginya, Tuhan adalah Tuhan persatuan dan perdamaian; Agama, Tuhan
adalah Tuhan Persatuan dan perdamaian; Agama tidak bisa sejalan dengan
perpecahan dan dendam kesumat dan pastilah tidak dengan peperangan.” Tegas
Trapman. Erasmus bersungguh-sungguh dengan pikiran-pikirannya yang membela
kebenaran. Tapi khas menjadi cirinya pula bahwa ia dapat menuangkannya dalam
bentuk yang ringan.
Selain
kehidupan para imam dan biarwan yang menjadi kritik Erasmus, ia memperhatikan
juga perilaku rumah tangga atau khususnya kehidupan suami isteri. Dalam bab
“Perkawinan Yang Tidak Bahagia” Erasmus sangat peka menggambarkan bagaimana ia
menasehati perempuan-perempuan agar perkawinan menjadi bahagia lewat dialog
Eulali dan Xantippe.
Dalam
hal kerja, Erasmus juga sangat menawan melukiskan bagaimana bertingkahlaku
dalam berdagang dalam bab “Pedagang Kuda”, atau juga dalam bab ‘Kaya tapi
Kikir’.
Lucu
Tulisan-tulisan
Erasmus bisa dikatakan ringan, lucu, menarik, bersemangat, tetapi juga mengena,
tepat sasaran. Dan itulah yang mungkin menjadi bobot tulisan Erasmus.
Beberapa
terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini, khususnya, menyangkut ajaran atau
tradisi Gereja atau biara , memang
kurang pas, seperti Dara Maria, Korinte, Tuhan Bapa, Bintang segara, Penguasa
Bumi – memang terlihat aneh atau kurang tepat. Terkadang juga membingungkan.
Ini bisa dipahami, karena penerjemah belum masuk dalam komunitas suatu biara
Gereja Katolik.
Lepas
dari kekurangan penerjemahannya tersebut, buku ini memberi sumbangan yang
berarti dan masih tetap aktual meskipun latar belakang munculnya buku ini tahun
1518. Di kota Leuven, Belgia. Meskipun bahasa Latin banyak tidak diajarkan
(kecuali di Seminari-seminari), tetapi buku ini sangat bagus untuk pendidikan
karena buku ini mempertautkan antara kesantunan berbahasa dengan kesantunan
perilaku. Kesantunan perilaku dalam buku ini memang dimaksudkan sebagai
kesantunan Kristen yang juga diakui sebagai nilai-nilai universal.
Kesantunan
bahasa tidak diperoleh dari belajar tata bahasa dari buku-buku pelajaran
sekolah yang kadang tidak menyenangkan, kaku, membosankan, atau menakutkan
(karena muatan dari berbagai instansi seperti kurikulum atau tuntutan
masyarakat), tetapi diperoleh dari buku-buku yang ‘berguna dan menyenangkan’
sebagaimana istilah Trapman dalam pengantarnya.
Jadi…,
ya 'Ridendo dicere verum'. Sambil
tertawa riang menyatakan kebenaran. Selamat membaca.
DSW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar