Jumat, 26 Oktober 2012

Percakapan Erasmus


Data Buku :

Judul   : Percakapan Erasmus
Penulis             : Desiderius Erasmus
Penerjemah      : H. B. Jassin
Pendahuluan   : J. Trapman
Penerbit           : Djambatan
Tahun :1985
Tebal    : xviii + 246 halaman


Anton   : Tidak adakah yang ingat kepada Santo Kristoffel ?
Adolf    : Ada. Aku mendengar seseorang (dan aku tidak bisa menahan tawaku) yang berjanji
             dengan suara nyaring supaya kedengaran Santo Kristoffel yang berada di Katedral di       Paris, yaitu patung sebesar gunung. Bahwa ia akan memberinya lilin yang sama besarnya        dengan patung itu. Seorang yang berdiri di sampingnya, seorang kenalan baik yang    mendengarnya berteriak-teriak, menyenggolnya dari samping dan berkata            memperingatkan, "Diam, tolol..!" bisik orang yang bernazar itu (sebab tentu saja Santo     Kristoffel tidak boleh mendengar apa yang dikatakannya ini). "Kau kira aku akan menepati   apa yang aku janjikan ? Sekali tiba di darat aku akan memberinya lilin biasa saja," katanya.

            Buku Percakapan Erasmus ini buku jadul (jaman dulu) bukan saja terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia era 80-an. Sementara buku aslinya tahun 1518. Jadi, memang sangat jadul. Tapi, apakah relevan bila dibaca saat kini yang hingar bingar dan deras arus informasi ini tanpa jatuh pada semangat romantisisme belaka seperti ditunjukkan era Romantik di Barat. Di situlah menariknya buku ini, yang masih tetap memberi warna kemanusiaan apalagi untuk pendidikan. Ia tidak cepat lapuk di makan usia jaman.
            Kutiban dialog di atas sebagai salah satu contohnya.  Dipetik dari Bab 'Kapal Karam'. Dalam  bab itu dikisahkan - dalam bentuk dialog antara Anton dan Adolf - bagaimana sikap orang-orang ketika mendapati kapal yang ditumpanginya akan hancur berantakan diterpa ombak besar. Hal ini terjadi seperti digambarkan film Titanic atau di kehidupan sehari-hari dengan kondisi transportasi seperti tenggelamnya kapal-kapal barang bekas yang disulap menjadi kapal penumpang dan sebagainya.
            Penumpangnya akan dilemparkan ke puncak setinggi langit dan dihempaskan ke dasar oleh badai dahsyat. Digambarkan pula di dalamnya bagaimana mereka dipaksa harus merelakan barang-barang berharganya dilempar ke laut untuk mengurangi beban kapal dan menyelamatkan nyawa.
            Hal itu belum seberapa. Yang lebih dahsyat adalah setelah semuanya habis, termasuk tiang dan layar roboh dan ditelan lautan. Seluruh badan kapal retak dan dapat dipastikan tenggelam dalam beberapa detik kemudian. Berbagai macam peristiwa dan tingkah laku dikisahkan dalam kondisi demikian. Kadang konyol, lucu, atau bahkan menggelitik. Mungkin ini tidak perlu ditertawakan karena memang suatu tragedi. Dan, pada akhirnya memang harapan yang besar terletak pada pertolongan Tuhan. Namun, sikap keagamaan itu berbagai macam bentuk dan perwujudannya ketika situasi kritis terjadi. Dan, siapa yang akan sampai duluan di pantai ? Atau siapa yang tenggelam ? Menarik...

Kritik Keras
            Bab 'Kapal Karam' itu hanyalah satu bab dari 12 bab buku karya Erasmus ini. Buku ini diterjemahkan almarhum HB Jassin dari terjemahan NJ. Singels Een Twaalftal Samenspraken, dan Een Tweede Twaalftal Samenspraken’dan juga terjemahan C. Sobry berjudul Een Derde Twaalftal Samenspraken.
            Buku ini awalnya diterbitkan tahun 1518 dengan judul Colluquia (Percakapan) berbahasa Latin. Buku ini menuai kritik keras bukan hanya dari Gereja Katolik, tetapi juga dari pihak tokoh reformis Gereja seperti Martin Luther.
            Mengapa buku ini begitu menuai kritik keras dari kalangan  Gereja ? Lepas bagaimana Gereja menyikapinya, buku ini memang bisa membuat telinga tokoh-tokoh Gereja merah dan lantas marah. Bagaimana kebiasaan-kebiasaan para biarawan seperti Fransiskan, Karmelit, Dominikan, dan Agustinian dibeberkan. Termasuk di dalamnya bagaimana motivasi seseorang masuk suatu biara untuk menjadi biarawan dalam bab ‘percakapan orang tua-tua”
            Lebih dari pada itu, perang ketiga raja, yaitu Karel V, Kaisar Roma yang suci, Francis I (raja Perancis) dan Henry V, Kaisar Roma yang suci, Fransiskan I (Raja Prancis) dan Henry VIII (raja Inggris) seakan-akan itu semua karena perintah Tuhan. Para Raja itu berperang karena dihasut oleh pastor atau pendeta atau biarawan yang dengan penuh tipu daya dan mengejar keuntungan semata dan karena itu mereka di mana-mana, mencoba menimbulkan pertikaian dan peperangan. Itu semua dikisahkan dalam dialog antara Karon dan Alastator dalam bab ‘Karon, Tukang Tambang ke Dunia Roh.’
            Dalam berperang itu, seperti diuraikan J Trapman dalam pendahuluan, tiap pihak yang berperang mengira Tuhan berada di pihaknya. Hal inilah yang justru ditentang Erasmus. “Baginya, Tuhan adalah Tuhan persatuan dan perdamaian; Agama, Tuhan adalah Tuhan Persatuan dan perdamaian; Agama tidak bisa sejalan dengan perpecahan dan dendam kesumat dan pastilah tidak dengan peperangan.” Tegas Trapman. Erasmus bersungguh-sungguh dengan pikiran-pikirannya yang membela kebenaran. Tapi khas menjadi cirinya pula bahwa ia dapat menuangkannya dalam bentuk yang ringan.
            Selain kehidupan para imam dan biarwan yang menjadi kritik Erasmus, ia memperhatikan juga perilaku rumah tangga atau khususnya kehidupan suami isteri. Dalam bab “Perkawinan Yang Tidak Bahagia” Erasmus sangat peka menggambarkan bagaimana ia menasehati perempuan-perempuan agar perkawinan menjadi bahagia lewat dialog Eulali dan Xantippe.
            Dalam hal kerja, Erasmus juga sangat menawan melukiskan bagaimana bertingkahlaku dalam berdagang dalam bab “Pedagang Kuda”, atau juga dalam bab ‘Kaya tapi Kikir’.

Lucu
            Tulisan-tulisan Erasmus bisa dikatakan ringan, lucu, menarik, bersemangat, tetapi juga mengena, tepat sasaran. Dan itulah yang mungkin menjadi bobot tulisan Erasmus.
            Beberapa terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini, khususnya, menyangkut ajaran atau tradisi Gereja  atau biara , memang kurang pas, seperti Dara Maria, Korinte, Tuhan Bapa, Bintang segara, Penguasa Bumi – memang terlihat aneh atau kurang tepat. Terkadang juga membingungkan. Ini bisa dipahami, karena penerjemah belum masuk dalam komunitas suatu biara Gereja Katolik.
            Lepas dari kekurangan penerjemahannya tersebut, buku ini memberi sumbangan yang berarti dan masih tetap aktual meskipun latar belakang munculnya buku ini tahun 1518. Di kota Leuven, Belgia. Meskipun bahasa Latin banyak tidak diajarkan (kecuali di Seminari-seminari), tetapi buku ini sangat bagus untuk pendidikan karena buku ini mempertautkan antara kesantunan berbahasa dengan kesantunan perilaku. Kesantunan perilaku dalam buku ini memang dimaksudkan sebagai kesantunan Kristen yang juga diakui sebagai nilai-nilai universal.
            Kesantunan bahasa tidak diperoleh dari belajar tata bahasa dari buku-buku pelajaran sekolah yang kadang tidak menyenangkan, kaku, membosankan, atau menakutkan (karena muatan dari berbagai instansi seperti kurikulum atau tuntutan masyarakat), tetapi diperoleh dari buku-buku yang ‘berguna dan menyenangkan’ sebagaimana istilah Trapman dalam pengantarnya.
            Jadi…, ya  'Ridendo dicere verum'. Sambil tertawa riang menyatakan kebenaran. Selamat membaca.

DSW

Tidak ada komentar: