Jumat, 26 Oktober 2012

Membaca dan Membaca Lagi


Data Buku

Judul               : Membaca, dan Membaca Lagi: [Re]interpretasi Fiksi Indonesia 1980 - 1995
Judul Asli        : Reading Matters : An Examination of Plurality of MEaning in Indonesian Fiction 1980 - 1995
Penulis             : Dr. Pamela Allen
Penerjemah      : Dr. Bakdi Soemanto
Kata Pengantar: Prof. Dr. Benny H. Hoed
Penerbit           : Indonesia Tera
Tahun              : 2004
Tebal               : xxxii + 320 halaman
ISBN               : 979-9375-60-6

            Ketika kita membaca buku atau teks atau naskah baik fiksi maupun nonfiksi, apa yang mau kita cari ? Makna ! Boleh jadi, buku itu menghibur, membuat teka-teki, mengajak refleksi, memberi petuah, membelokkan untuk menyesatkan secara halus untuk sekedar mencari keuntungan, atau bahkan menebar teror kesadaran. Boleh jadi buku itu merupakan rangkaian cerita yang lurus dan logis sampai cerita absurd, berisi rumus-rumus dan penyelesaian soal, mode pakaian atau masakan, berisi teknik akuntansi, komputer, berpidato atau bagaimana menjadi kaya sesegera mungkin. Namun, hanya dengan mambaca sajalah, teks-teks itu memberikan maknanya. Lantas kita memahaminya dan menggunakannya. Bisa jadi, kita sebenarnya menangkap maknanya lantas kita menyembunyikan itu dan mengatakan hal lainnya atau makna lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.
            Permasalahannya, bagaimana membaca dengan 'baik dan benar' ? Istilah 'baik dan benar' di sini dipakai dengan kata-kata yang lazim digunakan seperti berbahasa yang 'baik dan benar'. Bagaimana kita dapat memahami makna dengan tepat ? Jawabnnya mungkin sederhana. Teks itu sendiri akan menampilkan maknanya secara eksplisit. Bisa jadi. Tapi, banyak teks yang menyembunyikan maknanya dalam sesuatu yang 'tak kelihatan' langsung, entah lewat strukturnya, permainan kata, tata bahasa, dan sebagainya. Bagaimana memahami semua itu ?
            Membaca sekali atau dua kali, kita mungkin menangkap jalan ceritanya atau garis besarnya. Membaca sekali lagi dan lagi, mungkin terasa makna lebih dalam. Mencari latar belakang penulis dan latar belakang sosial, politik, atau budaya yang terjadi saat teks itu ditulis dari buku-buku atau informasi-informasi lain, mungkin akan memperdalam lagi makna itu. Mungkin orang lain akan menangkap makna yang berbeda dari teks yang sama. Orang lainpun mungkin akan berbeda pula. Atau jangan-jangan kita salah baca. Bagaimana dengan maksud pengarang ?
            Buku karya Dr. Pamela Allen berjudul Membaca, dan Membaca Lagi: [Re]interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995 ini sangat membantu menjawab masalah-masalah di atas. Buku yang berjudul  aslinya Reading Matters : An Examination of Plurality of Meaning in Indonesian Fiction 1980 – 1995, sangat jernih memaparkan hasil ‘membaca, membaca, dan membaca lagi’ penulisnya atas karya-karya tiga sastrawan berpengaruh di Indonesia antara tahun 1980 – 1995. Sastrawan itu adalah Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, dan Putu Wijaya.
            Karya-karya yang dicermati dari Pramoedya adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan  Rumah Kaca (1988). Pamela menyebutnya sebagai “Kuartet Buru”. Sementara karya Y.B. Mangunwijaya adalah Burung-Burung Manyar (1981), Durga Umayi (1991), dan Burung-Burung Rantau (1993). Sedangkan novel-novel Putu Wijaya antara lain Sobat (1981), Perang (190), Teror (1991), Kroco (1995), dan Byarpet (1995).
            Pendekatan yang dipakai sangat menarik, yaitu pendekatan tanggapan-pembaca atau teori resepsi pembaca. Pendekatan ini menekankan bahwa makna suatu karya sastra tertentu merupakan hasil interaksi antar pembaca dengan teks. Lalu konsekuensinya makna menjadi tidak tunggal. Ia plural.
            Pendekatan itu sendiri diambil dari tiga tokoh seperti Antony Easthope dalam bukunya berjudul Literary into Cultural Studies (1991), Catherine Belsey dalam bukunya Critical Practice (1990), dan Umberto Eco dengan bukunya The Limits of Interpretation (1990).
            Pendekatan yang dipakai Pamela sebenarnya upaya sintesis dari dua kecenderungan, yakni di satu sisi makna itu sudah tidak tergantung pada pengarang, tetapi sepenuhnya mutlak tergantung pembaca begitu teks lepas dari pengarang dan dibaca pembaca. Pengarang itu sudah mati. Salah satu pendekatan ini diwakili, misalnya oleh Roland Barthes. Di pihak lain, kecenderungan lebih kearah konvensional yang menekankan unsur obyektivitas yang diartikan makna itu sangat tergantung pada pengarang. Bagaimanapun juga teks itu dihasilkan oleh pengarang sehingga teks tidak bisa dilepaskan dari maksud pengarang. Maknanya lalu menjadi tunggal sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah. Pendekatan ini didukung oleh antara lain E.D. Hirsch Jr.
            Dengan pemaparan berbagai pendekatan dan mengambil suatu sintesis, buku Pamella yang dikembangkan dari tesis doktoralnya ini, merupakan pendekatan ilmiah. Ini juga bisa disebut sebagai kritik sastra atau analisis sastra. Di sinilah kekuatan buku ini. Ia kritis terhadap karya tiga sastrawan berpengaruh di Indonesia dari tahun 1980 hingga 1995. Ia bukan pembaca biasa, seperti dikatakan Prof. Dr. Beny H. Hoed, dalam kata pengantarnya. “Ia (seorang kritikus sastra, pen.) harus menempatkan dirinya lebih dari seorang awam yang membaca karya sastra. Ia harus memberikan pencerahan kepada peminat sastra agar seluruh karya dapat dipahami makna secara lebih komprehensif,” tegasnya.

Hasil

Dari pendekatan di atas dan karena tidak bisanya Dr. Pamela Allen menyingkirkan pengarang (karena kenal secara pribadi), maka dihasilkan suatu tipologi sastra di Indonesia antara periode sebelumnya yang sudah dikenal baik. Misalnya pada awal 1980-an perdebatan ‘sastra kontekstual’ menghidupkan kembali suatu perdebatan yang sudah dikenal baik dan seakan berputar. Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, dan Putu Wijaya mewakili tiga corak sastra di Indonesia yang ditandai antara kutub-kutub realis – antirealis, serta nasionalis – neoregionalis.
            Karya-karya Pramoedya bercorak realis dan nasionalis. Sementara Mangunwijaya mencerminkan keindonesiaan yang diramu dari beberapa eksperimentasi, fantasi, dan tradisi wayang. Sedangkan karya-karya Putu Wijaya merupakan antitesa dari tulisan Pramoedya : fantastik dan bersifat tidak langsung, dan meraciknya dengan tradisi Bali, Jawa, dan Jakarta (hal. 251 – 252).

Membuka Tabir
            Apa yang mengejutkan dari buku ini adalah dari mana suatu ‘ide’ tulisan tiga sastrawan itu terilhami, apa makna-makna simbolisme (misalnya plesetan, permainan kata, dan sebagainya), apa maksud pengarang, dan latar belakang sosio-politik serta hal-hal tentang kepengarangan, terungkap. Buku yang diterjemahkan dengan apik oleh Dr. Bakdi Soemanto ini, bagaikan membuka tabir.
            Misalkan saja, karya Burung-Burung Manyar dihubungkannya dengan keluarga Jenderal (Purn.) Wiranto, isterinya Yuniarti, dan anak-anaknya. Atau Durga Umayi yang diilhami dari Autumn of the Patriarch-nya Gabriel Garcia Marquez.
            Tidak mengherankan, jika karya Pamela ini memang betul-betul ditulis dengan teliti dan rinci. Selain uraiannya yang menyibakkan hal-hal yang ‘tersembunyi’ dari teks utama, studi yang tekun dan cermat bisa terlihat juga dari daftar pustakanya.

Suatu Pertanyaan
            Kecenderungan terhadap perhatian yang lebih pada pengarang, biasanya dibayar dengan sedikit ‘melupakan’ lingkungan sekitarnya. Misalkan, ketika kita membaca Durga Umayi.  Apalagi tokoh utamanya Punyo Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida atau dipanggil dengan Iin. Ini mengingatkan pada sosok sekretaris Bung Karno yang berasal dari Pulau Tello seperti diceritakan Bung Karno sendiri kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Apalagi menyangkut permainan kata pada kisah akhir (hal. 19). Padahal, buku biografi  Soekarno ini tentu sudah banyak dikenal banyak orang. Apa hubungan ini dengan Durga Umayi, tidak diketahui. Masalahnya berbeda jika maksud pengarang secara eksplisit ditujukan untuk kritik terhadap sosok Bung Karno misalnya atau lebih besar lagi terhadap proklamasi.
            Kalau contoh di atas diteruskan, maka pendekatannya kembali lagi ke soal makna itu tunggal atau plural, ditentukan pengarang atau pembaca. Buku ini memang memberi masukan yang sangat berarti, tetapi meninggalkan sejumlah pertanyan yang belum terjawab.

Pemahamn Diri
            Pendekatan ilmiah dan permasalahan makna ini justru menjadi titik kritis Pamela Allen. Apalagi seperti diakuinya sebagai pembaca non-Indonesia, berusaha mendekati sastra Indonesia seperti Pramoedya, Mangunwijaya, dan Putu Wijaya. Di sinilah masalah dua budaya yang saling berinteraksi. Menarik…
            Lalu, apa yang muncul dari pendekatan seperti ini,adalah kemungkinan besar masalah bias berhadapan dengan etnosentrisme. Prof. Beny H. Hoed sudah mengingatkan hal itu dalam kata pengantarnya.
            Bagaimana menghadapinya, Beny langsung menusuk jantung masalahnya, yaitu: memahami diri, mengenali diri sendiri dalam kaitan dengan teks. Inilah inti interpretasi, seperti diketengahkan Paul Ricoeur.
            Terjemahan buku ini sangat bagus, meskipun beberapa yang perlu mendapat kritik dengan istilah ‘silang budaya’ (Beny lebih suka memakai istilah ‘antarbudaya’). Pada umumnya, terjemahan buku ini dalam bahasa Indonesia patut mendapat apresiasi yang tinggi. Kualitas terjemahannya bagus. Artinya, maknanya tersampaikan, walaupun (dan tidak perlu) kata per kata, termasuk judulnya.
            Buku ini bisa dibaca oleh mahasiswa, dosen sastra, atau siapa saja yang berminat pada sastra dan kritik sastra. Semoga bermanfaat...

DSW

Tidak ada komentar: